daun singkong
tentang jepang dan indonesia
di mata seorang penggemar sayur daun singkong
Thursday, December 30, 2004

Ternyata Indonesia tidak siap...

Rasanya semua orang sudah tahu tentang bencana gempa dan tsunami di Aceh. TV di sini pun masih gencar menyiarkan berita tsb, meskipun saya perhatikan berita tentang kondisi di Thailand (phuket island) dan Srilangka lebih banyak ditayangkan. Mungkin karena di dua lokasi tadi cukup populer dikunjungi orang Jepang : phuket island dengan wisata pantainya dan Srilangka sebagai diving spot. Mungkin juga karena situasi keamanan, membuat video tayangan kondisi di Aceh sulit didapatkan.

Memang nama Indonesia (tepatnya: pulau Sumatera) sering disebut-sebut sebagai sumber utama getaran gempa. Sayangnya, beberapa waktu lalu, dari sedikit tayangan tentang korban di Aceh, seorang penduduk pada saat diwawancara, mengatakan bahwa sampai sekarang belum menerima bantuan dari pemerintah. Dari apa yang saya baca di koran, memang tertulis banyak orang tidak makan hingga tiga hari. Sepertinya, memang tidak ada koordinasi yang baik untuk distribusi pangan, meskipun sumbangan sudah banyak terkumpul.

Sebenarnya, bencana alam gempa bumi dan tsunami bukan hal yang baru. Sebut saja gempa di Alor dan Nabire beberapa waktu terakhir ini. Saya rasa para ahli geologi di Indonesia bisa memperkirakan fenomena gempa yang terjadi belakangan ini (kalau belum bisa, mudah-mudahan bisa jadi topik penelitian yang serius, mengingat dampaknya sangat serius). Sayangnya, meskipun gempa sudah terjadi berulang kali, korban yang timbul tidak juga dapat ditekan.

Televisi Jepang pernah sekilas mengulas tentang ketidaksiapan negara-negara yang jarang terkena (atau menganggap remeh ?) gempa. Jepang memang terkenal dengan seringnya gempa dan tsunami. Seperti yang saya tulis di artikel lalu, selain dilakukan pengecekan periodik bangunan terhadap ketahanan gempa, informasi tentang gempa juga disiarkan langsung di TV, termasuk pemberitahuan tentang gempa susulan, dan tsunami. Jika situasi parah, akan ada perintah untuk mengungsi.

Sebagai tempat pengungsian, sudah ditentukan beberapa bangunan seperti sekolah, gedung olah raga, dan taman. Bantuan pangan akan dibagikan kepada penduduk lewat tempat pengungsian ini. Tetapi selain mengandalkan bantuan, setiap orang diharapkan memiliki persediaan makanan di saat darurat, seperti roti kaleng dan air mineral.

Untuk daerah yang berdekatan dengan laut, atau yang mengandalkan transportasi laut seperti pulau ikeshima, setiap hari dilaporkan perkiraan ketinggian gelombang laut, bersamaan dengan perkiraan cuaca. Terutama pada saat hujan besar dan setelah gempa (tsunami biasanya merupakan efek susulan gempa), peringatan bahaya tsunami juga disiarkan, sehingga orang yang bekerja di laut bisa waspada.

Di kota besar seperti Tokyo sendiri, sudah beberapa kali disiarkan di TV tentang ramalan terjadinya gempa besar. Takut memang, tapi dengan begitu kita jadi lebih waspada. Bahaya susulan akibat gempa, misalnya kebakaran akibat konslet listrik atau api kompor, bisa diperkecil.

Mungkin kita tidak bisa meramalkan dengan tepat kapan terjadi bencana, tapi manusia punya kemampuan (dan mudah-mudahan kemauan) untuk belajar, supaya jika terjadi bencana yang sama jumlah korban dapat ditekan.

Anyway, seandainya gempa bumi dan tsunami terjadi di Jakarta, sudah adakah penanganannya ?
Thursday, December 23, 2004

Semoga Natal tidak sekedar lampu...

bukan ini pohon natal sayaSaya selalu berpikir, Natal itu identik dengan pohon cemara, lengkap dengan lampu kelap-kelip, dengan hiasan bintang di puncaknya, dan kado-kado di bawahnya.Sekarang pun saya masih mengusahakan punya pohon natal, meskipun hanya setinggi 30 cm. Kecil, berhubung tempat tinggal saya akan terlihat lebih sempit jika pohon natalnya lebih besar dari itu.

Saya memimpikan "white christmas" : salju turun perlahan dari langit, tumpukan salju di depan rumah, seperti yang ada di film Hollywood. Sayangnya, meskipun sekarang cuaca di tempat saya tinggal sudah musim dingin, salju tidak kunjung turun. Mungkin bulan Januari nanti baru turun, pas puncak musim dingin. Seandainya saya tinggal agak ke arah utara, mungkin saya bisa menikmati salju di malam natal.

Natal itu identik dengan liburan, pesta, dan makan-makan. Pertokoan semarak dihias dengan lampu illumination, dengan alunan lagu natal, barang-barang dijual murah dengan embel-embel "Christmas Sale".
Gereja pun dihias lebih indah dari biasanya. Dengan gua buatan, pohon natal yang besar, lilin, pita, lampu warna-warni. Paduan suara yang menawan. Natal: ramai, meriah, mewah.

Belakangan, saya mulai berpikir ulang.

Tanpa salju, saya masih merayakan Natal.
Tanpa pohon natal, mungkin saya masih merasakan Natal.
Tanpa liburan, mungkinkah saya merasakan Natal ?

Seandainya Natal bukan di akhir tahun, masihkan itu disebut "Natal" ?
Seandainya toko-toko tidak peduli terhadap Natal, masihkan saya merasakan "Natal" ?
Seandainya gereja tidak dihias, tanpa paduan suara, masihkan saya menyebut hari itu sebagai "Natalan" ?

Ah...

Selamat Natal teman.
Semoga kebahagiaan sejati Natal bisa kamu rasakan,
tidak hanya sekedar kebahagiaan semu dari gemerlapnya lampu.
Tuesday, December 21, 2004

kata bijak hari ini

you try, you fail
you try, you fail
but the biggest failure is when you stop trying

-- ball lady, haunted mansion --
Friday, December 17, 2004

You are what you eat ?

itu teman saya, lagi makan dagingSiang ini, teman-teman lab mengajak saya makan di restoran Brazil. Menunya daging all you can eat. Pelayan membawakan daging steak besar ke meja, memotongnya di depan masing-masing orang. Enak, tentu saja. Yang jadi perhatian saya, tidak semua daging itu matang sampai di dalamnya. Iya sih, saya tahu steak itu ada yang well-done, medium , dan rare. Tapi jujur saja, saya masih tidak bisa makan melihat cairan merah keluar perlahan dari daging itu. Padahal, teman saya bilang, justru bagian yang masih merah itu yang enak. Bahkan daging super mahal (yang harganya bisa jutaan rupiah itu), paling enak dimakan sebagai sashimi. Mentah, rasa daging asli. Hah, makasih deh. Jadi ingat, bapak saya pernah ngambek mengancam mau jadi vegetarian gara-gara menemukan ayam goreng yang belum sepenuhnya matang di rumah.

Ngomong-ngomong soal makanan mentah, saya sampai sekarang juga masih belum bisa makan telur mentah. Kalau makan yakiniku atau shabu-shabu, biasanya orang Jepang mencelupkan dagingnya ke telur mentah dulu sebelum dimakan. Begitu juga kalau makan gyudon (nasi dengan irisan daging di atasnya), biasanya di beri toping telur mentah.
Katanya sih enak. Tapi saya selalu merasa telur mentah itu bau amis. Ga selera deh.

Aniway, tempe pun juga dimakan mentah sama orang Jepang.

Masih soal kebiasaan makan, suatu hari saya bawa bekal makan siang ke lab. Nasi, sayur, lauk, dan ga ketinggalan krupuk udang. Seorang teman saya -- orang Jepang, langsung berkomentar : "loh, itu kan sembei *, masak kamu makan sembei sama nasi sih ? " Saya langsung bilang, "iya. enak kok. coba aja " Dia cuma mengernyitkan dahi, dan saya meneruskan makan saya.

Satu lagi, tadi teman-teman menertawakan saya, karena saya bilang kalau buah advokad itu enak diblender trus dikasih gula dan susu coklat kental. "No way !" katanya. Saya pikir, ga kreatif amat, masak advokad bisanya cuma dimakan mentah sebagai salad. Padahal mereka bisa kasih saran, kalau semangka itu enak dimakan dengan taburan garam.

*sembei : kerupuk, biasanya dimakan untuk cemilan, bukan sebagai lauk.
Wednesday, December 15, 2004

Shibuya, tak pernah sepi


Meskipun berkali-kali lewat Shibuya, rasanya saya masih saja terkagum-kagum pada keramaiannya.




Shibuya, seperti saya ceritakan di sini, masih tetap jadi tempat populer kaum muda untuk bersenang-senang.

The famous dog : hachiko





Big screen di depan stasiun, pengisi waktu sembari menunggu.






Hati-hati, jangan sampai tenggelam di lautan manusia !






Shibuya, berhias menjelang natal





Thursday, December 09, 2004

Dalam Kesendirian

Sebut saja namanya Tina. Saya tidak pernah menanyakan berapa umurnya, tapi dari kerut di wajah dan uban di kepala, saya tebak usianya sudah mendekati setengah abad.

Pertama kali saya mengenalnya di kelas bahasa Jepang yang dikelola volunteer kecamatan tempat saya tinggal, musim gugur tahun lalu. Seorang teman di kelas ini yang mengenalkannya pada saya. Belakangan saya tahu, teman ini adalah seorang relawan dari suatu komunitas gereja. Tina sendiri tidak ikut belajar. Tidak perlu, karena dia adalah warga negara Jepang.

Tina menunggu kami diluar ruangan sampai kelas selesai. Ketika melihat saya, wajahnya terlihat berseri-seri, meskipun badannya terlihat lemah di kursi roda. Meskipun tergagap, dia berusaha memakai bahasa Indonesia selama bercakap-cakap dengan saya. Dari ceritanya, saya tahu Tina adalah keturunan Jepang dan Indonesia. Masa kecilnya sempat dihabiskan beberapa waktu di Indonesia, sampai akhirnya kedua orang tuanya meninggal.

Meskipun orang tuanya meninggalkan warisan cukup besar, entah konflik apa yang terjadi, tidak ada keluarga yang mau menjalin hubungan dengan Tina. Pihak keluarga di Indonesia tidak mau mengaku Tina sebagai keluarga karena dia dianggap bukan orang Indonesia, begitu pula keluarga di Jepang.

Seiring berjalannya waktu, Tina berkenalan dengan seorang laki-laki, orang Indonesia. Tina tidak pernah merasa dirinya cantik, tidak cukup percaya diri untuk menjalin cinta dengan lawan jenis. Cinta yang perlahan dipupuk untuk sang pangeran ternyata musnah dalam sekejap setelah sang pujaan hilang setelah meminjam sejumlah besar uang, yang tak pernah dikembalikan.

Tinggal dalam kesendirian di keramaian Tokyo, seorang wanita datang kepadanya. Masih terhitung saudara dalam runutan keluarga di Jepang. Wanita ini beberapa kali mengunjungi Tina, merawat Tina yang mulai sakit-sakitan dan duduk di kursi roda. Tapi ternyata hal yang sama terulang lagi. Wanita itu tidak kembali lagi setelah mengambil sejumlah simpanan.

Akhirnya, tinggallah Tina dalam kesendirian, hidup bergantung pada tunjangan pemerintah, sesekali dikunjungi oleh relawan dari suatu gereja. Kepada salah satu relawan, dia berkata ingin bertemu dengan orang Indonesia, dan akhirnya bertemulah Tina dengan saya.

Bujukan teman relawan membuat saya meluangkan waktu berkunjung ke tempat tinggalnya. Apartemen tingkat satu di pinggiran kota, dari luar terlihat sama bagusnya dengan apartemen yang lain. Tetapi begitu pintu dibuka, tercium bau yang tidak wajar: bau sampah. Plastik bekas berserakan di lantai, mulai dari pintu depan sampai dapur, sama berserakannya dengan baju-baju yang sepertinya tidak pernah dicuci. Tina menyuruh saya duduk di kursi, sambil menuangkan teh -- yang tidak bisa dibilang hangat --, menghardik saya ketika tangan saya otomatis membereskan barang di sekitar tempat saya duduk. "Jangan bekerja, saya tidak senang Emili-san bekerja. " Dan dia mulai bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya.

"Saya masak sayur lodeh. Emili-san makan sayur lodeh, ya ? " katanya. Jujur, meskipun saya rindu dengan masakan tanah air, nafsu makan saya hilang melihat bahan masakan yang masih berserakan di dapur. Belakangan, teman relawan menceritakan bahwa Tina terbiasa mengambil sayur buangan sisa di supermarket sebagai bahan makanan. Waktu itu, saya hanya bisa bilang "Saya sudah makan", sambil berusaha mengalihkannya supaya bercerita lagi.

Beberapa kali Tina datang ke tempat saya belajar bahasa Jepang, bercerita banyak hal, meskipun terkadang dengan bahasa yang berantakan, alur yang tidak jelas, dan cerita yang diulang-ulang.

Kemudian, beberapa lama Tina tidak muncul kembali, sampai suatu saat teman relawan yang mengenalkan saya pada Tina menelpon saya. Tina sakit. Saya diminta mengunjunginya.

Rumah sakit itu tidak seperti rumah sakit pada umumnya. Letaknya di luar kota, di puncak bukit, di tengah kesunyian. Saya tidak punya prasangka apa-apa, sampai saya masuk ke dalamnya. Dengan diantar oleh suster penjaga, saya melewati berlapis-lapis pintu kokoh yang tampaknya selalu dikunci. Suster berkata bahwa saya hanya punya waktu sedikit untuk bertemu Tina.

Kami tidak benar-benar bertemu. Saya hanya melihatnya melalui jendela kaca sebesar 20 x 20 cm. Tina ada di dalam kamar itu, dengan tubuh terbalut jaket tebal, jaket yang dikunci untuk membatasi gerakannya. Saya menyapanya. "Tina, ini saya, Emiliana. " Tina, yang semula sibuk bercakap sendiri, melihat ke arah saya, tersenyum sebentar, kemudian berteriak "Saya ingin pulang. Pulang."

Saya cuma bisa menggigit bibir, menahan tangis, sambil berusaha tersenyum "Ya Tina, besok kita pulang. Kalau kamu sudah sembuh, kita pulang."

Suster penjaga meminta saya menyudahi pertemuan, karena tampaknya emosi Tina tidak dalam kondisi bisa bertemu orang lain. Saya mengikutinya keluar ruangan.

Itu kali terakhir saya bertemu Tina. Beberapa kali saya mencoba menelpon teman relawan, tapi hanya pemberitahuan salah nomor yang saya terima. Saya tidak bisa mengingat di mana rumah Tina, karena waktu datang ke sana, saya di antar dengan mobil teman relawan.

Tahukah kamu, betapa beruntungnya kamu memiliki keluarga dan teman yang mengasihimu ?
Saturday, December 04, 2004

Teh Pahit, Kopi Manis

Suatu saat, saya makan dengan serombongan orang Indonesia. Di akhir hidangan, keluarlah teh hangat sebagai penutup. English tea, bukan teh hijau. Mbak pelayan menawarkan gula (dalam bentuk blok, seukuran 1.5 cm) untuk kami. Tiap orang meminta 2 blok gula, dan mencicipi teh masing-masing. Merasa kurang manis, saya diminta untuk memintakan gula lagi ke pelayan. Tiga kali mbak pelayan menghampiri meja kami mengantarkan gula, akhirnya semangkuk besar gula ditaruh di meja kami.

Orang Indonesia sering bilang, gula di Jepang ini kurang manis.
Sedangkan orang Jepang bilang, minuman Indonesia terlalu manis, seperti yang ditulis di sini.

Pernah saya bawakan oleh-oleh teh hijau khas Jepang untuk saudara di Indonesia. Saat ke dapur, saya melihat tante saya memasukkan dua sendok gula, sebelum memasukkan cairan teh ke cangkir. Reflek, saya bilang bahwa teh hijau itu tidak perlu diminum dengan gula. Cukup teh saja. Sang tante langsung bilang "wong teh kok ndak pakai gula, ya bukan teh namanya... "

Lain waktu, seorang kenalan Jepang yang baru berkunjung ke Indonesia bilang "Minum kopi di Indonesia itu seperti minum gula. Jumlah gulanya lebih banyak dari kopinya."

Setelah tinggal di sini, saya baru tahu kalau ada benda terbuat dari kertas yang digunakan untuk menyaring kopi. Kuper kali ya, tapi sejak kecil saya hanya tahu untuk membuat kopi itu cukup memasukkan kopi, gula, air panas, lalu diaduk. Ada ampasnya, itu wajar. Namanya juga kopi.
Wednesday, December 01, 2004

Dunia ini kecil...

Iseng-iseng, saya buka account Friendster. Suatu saat, saya menemukan data teman lama jaman SMP dulu. Setelah dilihat connection detail-nya, teman saya itu ternyata adalah temannya teman saya yang lain, yang (teman yang lain itu) tidak bersekolah di SMP yang sama. Kejadian ini beberapa kali saya alami, memancing rasa penasaran. Masak sih, dunia itu segitu kecilnya, masak teman yang baru saya kenal (bukan di Indonesia lagi kenalnya !) ternyata kenal dengan teman sekolah saya dulu.

Karena penasaran, iseng-iseng saya cari info lewat google. Sampai akhirnya ketemu teori "Fenomena Dunia Kecil -- Small World Phenomenon" di Wikipedia. Teorinya, semua orang di dunia ini bisa terhubung oleh suatu hubungan sosial. Tahun 1967, Stanley Milgram mengatakan bahwa dua orang Amerika yang dipilih secara acak, sebenarnya terhubung rata-rata melalui 6 hubungan perkenalan. Bidang ini masih menjadi topik penelitian sampai saat ini.

Di bidang matematika, ada Erdős number, yang menunjukkan berapa jauh 'tingkat kenalan' seseorang dengan ahli matematika Paul Erdos. Paul Erdos sendiri memiliki Erdos number 0, orang yang pernah menulis jurnal bersama Pak Erdos, memiliki Erdos number 1. Orang yang pernah menulis jurnal dengan pemilik Erdos number 1, memiliki Erdos number 2, dan seterusnya.

Sedangkan di bidang perfilman, ada Bacon number, yang menunjukkan berapa kenal seseorang dengan artis Kevin Bacon. Uniknya, Paul Erdos sendiri punya Bacon number 4. Berarti, ada kenalannya Pak Erdos yang kenal dengan temannya si temannya Kevin Bacon.

Wah, kalau begitu, berarti mungkin ada teman saya yang kenal dengan temannya - temannya - temannya Yon-sama. Berapa yah, Yon-sama numberku ? Ada yang berminat bikin penelitian tentang ini ?

Dan, berapakah Emil number anda ?

---
tambahan : setelah diperiksa, ternyata Yon-sama number versi friendster saya cuma 3... :) :)
kategori tulisan lama

kumpulan foto

Shopping yuk !

Satu Cinta Lingerie Apa Impian Anda ?

shoutbox

sponsor & link

Powered by Blogger
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com
BlogFam Community
blog-indonesia
Get Firefox!
JANGAN ASAL COPY PASTE..

email me
created by emiliana dewi aryani
@ 2004 - 2011