daun singkong
tentang jepang dan indonesia
di mata seorang penggemar sayur daun singkong
Sunday, May 29, 2005

Banyak anak banyak rejeki

Melihat slip gaji (maklum masih baru, masih gemar lihat slip... ), ada satu hal yang sedikit bikin sesak dada. Apalagi kalo bukan potongan. Selain pajak dan asuransi, ternyata ada lagi potongan yang sangat besar ketimbang dua potongan lainnya. Potongan dana pensiun.

Saya bukan pegawai negeri. Dan meskipun bukan warganegara Jepang, gaji yang saya terima pun wajib diserahkan sebagian sebagai setoran pensiun.

Jepang memang mewajibkan setiap orang dewasa untuk masuk program pensiun. Setahu saya, ada beberapa jenis pensiun yang dikelola pemerintah. Kosei nenkin, atau dana pensiun kesejahteraan, wajib diikuti orang dewasa yang berumur lebih dari 20 tahun dan memiliki penghasilan tetap (pegawai). Sedangkan kokumin nenkin, atau dana pensiun masyarakat, wajib diikuti oleh orang dewasa berumur lebih dari 20 tahun yang tidak memiliki penghasilan tetap. Misalnya wiraswastawan, ibu rumah tangga, pekerja part time, atau pelajar. Dana pensiun ini sebenarnya bukan hanya berlaku terhadap orang Jepang saja, tetapi juga terhadap orang asing yang tinggal di Jepang.

Soal pensiun ini belakangan dirisaukan banyak orang, terutama dari kalangan muda. Masalahnya, meskipun setiap orang diwajibkan membayar setoran mulai sejak muda, pada saat mereka tua nanti, belum tentu mereka akan mendapatkan uang pensiun.

Loh kok bisa begitu ?

Dengan dana pensiun, pemerintah Jepang membantu 'menghidupi' masyarakat yang sudah berumur lebih dari 60 tahun. Uang yang digunakan untuk membayar pensiun ini, tentu saja diambil dari dana yang disetor oleh masyarakat yang umurnya belum mencapai umur pensiun. Yang jadi masalah, dari tahun ke tahun, jumlah orang muda di Jepang semakin menurun, sedangkan jumlah orang tuanya semakin banyak.

Awal tahun ini, tingkat kelahiran bayi di Jepang diumumkan hanya 1,28. Maksudnya, dari seratus pasangan (dua ratus orang) hanya lahir 128 bayi. Itu berarti, setiap pasangan rata-rata cuma punya satu anak, dan sedikit sekali yang lebih dari itu. Penyebabnya macam-macam. Mulai dari semakin tuanya usia rata-rata pernikahan, semakin meningkatnya jumlah wanita bekerja, dan lain-lain.

Masalah lainnya, tingkat kesejahteraan yang semakin membaik, membuat orang Jepang berumur semakin panjang. Di satu sisi memang ini adalah hal yang patut disyukuri. Tapi di lain hal, ini berarti semakin banyak jumlah orang yang berusia tidak produktif, yang harus disupport oleh mereka-mereka yang masih muda.

Oleh karena itu, dikalangan kaum muda beredar isu tentang kemungkinan tidak bisa didapatnya dana pensiun meskipun sudah membayar sejak muda.

Tentang jumlah uang setoran yang harus dibayarkan per orang pun, setiap tahun kabarnya akan semakin bertambah, karena jumlah pembayarnya diperkirakan akan semakin sedikit. Tapi tentu saja masih akan diperhitungkan dengan jumlah pendapatan yang diperoleh. Begitu juga dengan umur penerimaan pensiun, kabarnya akan semakin dimundurkan.

Untuk orang asing, kalau suatu saat sudah tidak tinggal di Jepang lagi, bisa mengambil kumpulan uang pensiun di negara masing-masing, tetapi tidak seratus persen dari apa yang disetor.

Jumlah anak yang semakin sedikit, mungkin tidak jadi masalah keluarga yang bersangkutan, tapi malah jadi masalah pemerintah. Kalau saja pemerintah Jepang memberikan reward untuk ibu-ibu yang melahirkan, mungkin orang Indonesia dengan senang hati berbondong-bondong melahirkan disini :)
Friday, May 13, 2005

TV, my best teacher

Bulan-bulan pertama saya tiba di Jepang, tekanan besar yang saya hadapi adalah masalah komunikasi. Meski sudah berbekal ilmu bahasa Jepang yang saya pelajari dari kursus di Jakarta, rasanya pembicaraan dengan orang Jepang kok tidak pernah nyambung. Entah cara bicara mereka yang terlalu cepat sehingga saya tidak bisa menangkap apa yang dikatakan, atau cara bicara saya yang terlalu sesuai dengan buku pegangan, sehingga dianggap aneh dan membosankan.

Yang tidak menguntungkan, teman-teman Jepang di lab bukanlah orang-orang yang senang bergaul, tapi lebih senang menekuni buku dan komputer. Keadaan seperti ini secara tidak langsung memaksa saya belajar bahasa lewat cara lain: menonton TV.

Dengan kemampuan daya tangkap yang terbatas, sudah pasti tidak mudah memahami isi acara TV. Kalau di Indonesia dulu bisa menikmati drama Jepang yang disertai sub-title bahasa Indonesia, menonton TV di Jepang membuat saya belajar menebak 'situasi' adegan demi adegan dengan mencoba mengerti pembicaraan yang hanya sepatah-patah tertangkap telinga.

Percakapan sepotong-potong yang kerap didengar lewat iklan (TV commercial), jadi andalan saya untuk menambah daftar kosa kata baru. Hafalkan saja dulu, kalau ada waktu periksa artinya. Sekalian sebagai latihan pengucapan. Belakangan saya sadar, tidak semua kata-kata yang muncul di iklan TV itu benar dalam tata bahasanya.

Gaya bahasa santai sehari-hari saya pelajari lewat drama. Dengan pengetahuan standar dari buku, pembicaraan dengan orang Jepang hanya terbatas sesuai dengan bahasa Jepang baku. Lawan bicara pun membalas dengan gaya bahasa standar, entah karena menghormati, atau karena takut tidak dimengerti. Padahal, gaya bahasa slang yang non standar sangat menarik untuk diketahui. Rasanya puas kalau bisa mengerti apa yang orang Jepang katakan, apalagi kalau mereka sampai bilang "aduh, kamu kan orang asing, masak kamu tahu kata-kata aneh begituan sih ?" He he he, makanya jangan bilang macem-macem di depan saya donk mbak...

Acara talk show ringan di TV biasanya disertai dengan tulisan singkat yang hurufnya berwarna-warni. Mungkin tulisan ini dimaksudkan membantu pemirsa yang kurang baik pendengarannya. Di satu sisi, tulisan ini sangat membantu saya dalam mempelajari kanji baru. Karakter yang seperti ini, ternyata dibaca begini, yang artinya kira-kira begitu.

Begitu pula dengan acara serius seperti berita. Pasti disertai ringkasan tulisan di bagian bawah. Lumayan untuk menambah kosakata resmi, lebih gampang daripada baca koran yang butuh energi lebih banyak.

Makanya saya jadi maklum kalau ada anak kecil yang tiba-tiba bisa berkomunikasi dengan bahasa asing, meskipun tidak diajarkan oleh orang tuanya. Tiap hari di depan TV, otomatis masuklah kata-kata baru ke otak. Meskipun kadang-kadang kata-kata yang tidak sopan pun ikut masuk...
Friday, May 06, 2005

Diet

Ketika saya membantu membereskan barang-barang pindahan di apartemen seorang teman, saya menemukan beberapa kotak suplimen diet. Semuanya masih tersisa, dengan merek dan jenis yang berbeda.

Sebagai seorang wanita (cieh...), saya sendiri bukannya tidak pernah kena godaan untuk berdiet. Apalagi kalau melihat cewek-cewek Jepang yang rata-rata langsing dan feminin. Biarpun sepenuhnya sadar, berat tubuh bukanlah hal mutlak yang menjadi daya tarik, tapi kok rasanya gimana gitu...

Seorang cewek layaknya bertubuh langsing, berkulit putih, berdada menonjol, berambut pirang. Stereotipe Barbie lah. Biarpun dikatakan termakan iklan, kenyataannya itulah gambaran idaman cewek-cewek di Jepang ini, seperti juga cewek-cewek Indonesia pada umumnya.

Meski bisa dibilang warna kulit orang Jepang jauh lebih putih daripada kulit saya yang sawo matang ini, toh tidak sedikit kosmetik pemutih yang diiklankan di media. Begitu juga dengan iklan obat pembentuk badan, obat memperbesar payudara, atau iklan salon kecantikan. Tahun lalu, warna rambut coklat terang seperti orang barat benar-benar populer, meskipun tahun ini orang cenderung mewarnai rambutnya dengan warna gelap.

Menjelang musim panas, iklan-iklan penggaet konsumen wanita ini semakin menjamur. Musim panas adalah musim dimana orang pergi ke pantai, dan kesempatan untuk cewek-cewek memakai bikini. Siapa yang tidak pede memamerkan bentuk tubuhnya, seperti tersingkir dari kesempatan bersenang-senang.

Sehari-haripun, tidak sedikit saya melihat ibu-ibu muda yang membawa bayi dalam dorongan, tetapi bentuk badan ibu itu masih sama langsingnya seperti mereka yang belum menikah. Sedikit bikin iri...

Untuk membuat tubuh langsing ideal, ada banyak tawaran. Mulai dari cara gampang seperti meminum suplemen atau teh pelangsing tubuh sebelum / sesudah makan, memakai stoking atau celana pembakar lemak, sampai cara yang agak menyiksa seperti tidak makan dan hanya minum susu pelangsing. Trend hidup sehat membuat tv dan media cetak membahas bahan-bahan makanan yang memiliki khasiat tersembunyi membuat tubuh tidak gampang gemuk meskipun makan sesuka hati. Belum lagi iklan alat-alat pembentuk tubuh. Selain alat2 olah raga, juga ada alat elektronik yang jika dipakai secara rutin dipercaya bisa membantu mengurangi lemak di bagian tubuh tertentu. Ada juga cara mudah tetapi menguras kocek yang ditawarkan salon kecantikan. Dengan waktu singkat, tanpa berlapar-lapar, asal punya uang, siapa saja bisa mencapai berat badan yang diidamkan. Salah satu salon kecantikan terkenal bahkan memasang pasangan Victoria - Beckham sebagai model.

Berlembar-lembar bagian belakang sebagian besar majalah wanita penuh diisi dengan iklan salon pelangsing tubuh. Tidak jarang yang memuat kesaksian mereka yang berhasil menurunkan berat badannya. Tercapainya bentuk tubuh yang diidam-idamkan membuat mereka yang tadinya pemalu dan kesusahan mendapat pacar, menjadi punya kepercayaan diri dan bisa menikah. Seperti menyentil wanita-wanita lain yang belum menikah, meyakinkan bahwa para pria sangat mempertimbangkan bentuk tubuh.

Diet, memang bukan soal gampang. Apalagi kalau hanya termakan iklan, rasanya kok tidak bisa bertahan sampai tujuan tercapai. Hasilnya ? Seperti tumpukan sisa obat diet milik teman saya itu.
kategori tulisan lama

kumpulan foto

Shopping yuk !

Satu Cinta Lingerie Apa Impian Anda ?

shoutbox

sponsor & link

Powered by Blogger
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com
BlogFam Community
blog-indonesia
Get Firefox!
JANGAN ASAL COPY PASTE..

email me
created by emiliana dewi aryani
@ 2004 - 2011