Dalam Kesendirian
Sebut saja namanya Tina. Saya tidak pernah menanyakan berapa umurnya, tapi dari kerut di wajah dan uban di kepala, saya tebak usianya sudah mendekati setengah abad.Pertama kali saya mengenalnya di kelas bahasa Jepang yang dikelola volunteer kecamatan tempat saya tinggal, musim gugur tahun lalu. Seorang teman di kelas ini yang mengenalkannya pada saya. Belakangan saya tahu, teman ini adalah seorang relawan dari suatu komunitas gereja. Tina sendiri tidak ikut belajar. Tidak perlu, karena dia adalah warga negara Jepang.
Tina menunggu kami diluar ruangan sampai kelas selesai. Ketika melihat saya, wajahnya terlihat berseri-seri, meskipun badannya terlihat lemah di kursi roda. Meskipun tergagap, dia berusaha memakai bahasa Indonesia selama bercakap-cakap dengan saya. Dari ceritanya, saya tahu Tina adalah keturunan Jepang dan Indonesia. Masa kecilnya sempat dihabiskan beberapa waktu di Indonesia, sampai akhirnya kedua orang tuanya meninggal.
Meskipun orang tuanya meninggalkan warisan cukup besar, entah konflik apa yang terjadi, tidak ada keluarga yang mau menjalin hubungan dengan Tina. Pihak keluarga di Indonesia tidak mau mengaku Tina sebagai keluarga karena dia dianggap bukan orang Indonesia, begitu pula keluarga di Jepang.
Seiring berjalannya waktu, Tina berkenalan dengan seorang laki-laki, orang Indonesia. Tina tidak pernah merasa dirinya cantik, tidak cukup percaya diri untuk menjalin cinta dengan lawan jenis. Cinta yang perlahan dipupuk untuk sang pangeran ternyata musnah dalam sekejap setelah sang pujaan hilang setelah meminjam sejumlah besar uang, yang tak pernah dikembalikan.
Tinggal dalam kesendirian di keramaian Tokyo, seorang wanita datang kepadanya. Masih terhitung saudara dalam runutan keluarga di Jepang. Wanita ini beberapa kali mengunjungi Tina, merawat Tina yang mulai sakit-sakitan dan duduk di kursi roda. Tapi ternyata hal yang sama terulang lagi. Wanita itu tidak kembali lagi setelah mengambil sejumlah simpanan.
Akhirnya, tinggallah Tina dalam kesendirian, hidup bergantung pada tunjangan pemerintah, sesekali dikunjungi oleh relawan dari suatu gereja. Kepada salah satu relawan, dia berkata ingin bertemu dengan orang Indonesia, dan akhirnya bertemulah Tina dengan saya.
Bujukan teman relawan membuat saya meluangkan waktu berkunjung ke tempat tinggalnya. Apartemen tingkat satu di pinggiran kota, dari luar terlihat sama bagusnya dengan apartemen yang lain. Tetapi begitu pintu dibuka, tercium bau yang tidak wajar: bau sampah. Plastik bekas berserakan di lantai, mulai dari pintu depan sampai dapur, sama berserakannya dengan baju-baju yang sepertinya tidak pernah dicuci. Tina menyuruh saya duduk di kursi, sambil menuangkan teh -- yang tidak bisa dibilang hangat --, menghardik saya ketika tangan saya otomatis membereskan barang di sekitar tempat saya duduk. "Jangan bekerja, saya tidak senang Emili-san bekerja. " Dan dia mulai bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya.
"Saya masak sayur lodeh. Emili-san makan sayur lodeh, ya ? " katanya. Jujur, meskipun saya rindu dengan masakan tanah air, nafsu makan saya hilang melihat bahan masakan yang masih berserakan di dapur. Belakangan, teman relawan menceritakan bahwa Tina terbiasa mengambil sayur buangan sisa di supermarket sebagai bahan makanan. Waktu itu, saya hanya bisa bilang "Saya sudah makan", sambil berusaha mengalihkannya supaya bercerita lagi.
Beberapa kali Tina datang ke tempat saya belajar bahasa Jepang, bercerita banyak hal, meskipun terkadang dengan bahasa yang berantakan, alur yang tidak jelas, dan cerita yang diulang-ulang.
Kemudian, beberapa lama Tina tidak muncul kembali, sampai suatu saat teman relawan yang mengenalkan saya pada Tina menelpon saya. Tina sakit. Saya diminta mengunjunginya.
Rumah sakit itu tidak seperti rumah sakit pada umumnya. Letaknya di luar kota, di puncak bukit, di tengah kesunyian. Saya tidak punya prasangka apa-apa, sampai saya masuk ke dalamnya. Dengan diantar oleh suster penjaga, saya melewati berlapis-lapis pintu kokoh yang tampaknya selalu dikunci. Suster berkata bahwa saya hanya punya waktu sedikit untuk bertemu Tina.
Kami tidak benar-benar bertemu. Saya hanya melihatnya melalui jendela kaca sebesar 20 x 20 cm. Tina ada di dalam kamar itu, dengan tubuh terbalut jaket tebal, jaket yang dikunci untuk membatasi gerakannya. Saya menyapanya. "Tina, ini saya, Emiliana. " Tina, yang semula sibuk bercakap sendiri, melihat ke arah saya, tersenyum sebentar, kemudian berteriak "Saya ingin pulang. Pulang."
Saya cuma bisa menggigit bibir, menahan tangis, sambil berusaha tersenyum "Ya Tina, besok kita pulang. Kalau kamu sudah sembuh, kita pulang."
Suster penjaga meminta saya menyudahi pertemuan, karena tampaknya emosi Tina tidak dalam kondisi bisa bertemu orang lain. Saya mengikutinya keluar ruangan.
Itu kali terakhir saya bertemu Tina. Beberapa kali saya mencoba menelpon teman relawan, tapi hanya pemberitahuan salah nomor yang saya terima. Saya tidak bisa mengingat di mana rumah Tina, karena waktu datang ke sana, saya di antar dengan mobil teman relawan.
Tahukah kamu, betapa beruntungnya kamu memiliki keluarga dan teman yang mengasihimu ?