Thursday, February 24, 2005
Susahnya cari pacar
Ketika kita hidup di dunia serba sibuk, urusan percintaan mungkin akan menjadi prioritas kesekian. Orang biasanya akan bersemangat membicarakan soal wanita yang tidak (belum) menikah, seperti yang pernah saya tulis di
sini. Tapi, bagaimana dengan laki-laki ?
Seorang teman -- sama-sama baru lulus --mengeluh tentang sulitnya mendapat pacar. Di kantor tempat dia akan bekerja, jumlah ceweknya jauh lebih sedikit dari jumlah cowok. Tidak berbeda dengan situasi di kampus sekarang, dari 80 orang teman seangkatan, jumlah ceweknya hanya 4 orang. Setengah meledek, saya bilang "Paling tidak, kalau sudah kerja nanti, kamu punya uang untuk ikut-ikut
gokon* , atau daftar ke biro jodoh. "
Salah seorang asisten profesor ada yang selalu menanti-nantikan kesempatan gokon. Mudah ditebak, karena setiap akan ikut gokon, wajahnya selalu berseri-seri dengan dandanan yang necis. Meskipun hari berikutnya dia dengan lesu mengeluh "Saya tidak cukup kaya untuk punya pacar... "
Memang sulit mengenal seseorang dalam waktu singkat. Ketika orang beranggapan bahwa menikah di usia tua bukan sesuatu yang aneh, para wanita merasa punya banyak waktu untuk memilih siapa yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Apalagi di zaman sekarang, tampang keren bisa dibeli, asalkan ada modal. Dengan melihat jam tangan yang dikenakan, merek baju yang dipakai, kunci mobil yang dibawa, wanita akan gampang menjatuhkan keputusan.
Beberapa teman cowok di lab saya, selalu dengan rajinnya datang pagi - pulang malam demi mengerjakan riset. Kalau perlu menginap. Ketika disinggung tentang pacar, jawabannya selalu klise : "Belum mikir. Mau konsentrasi ke kerja dulu. " Tapi ketika akhir pekan, mungkin dibantu kekuatan alkohol, keluarlah uneg-uneg tentang keinginan punya pacar. Tentang keminderan setiap berusaha ngobrol dengan cewek. Tidak cukup percaya diri.
Tidak cuma wanita yang ingin menikah. Laki-laki juga. Hal ini disinggung dalam buku
Densha Otoko (Lelaki dalam kereta), yang katanya menggugah rasa percaya diri banyak laki-laki Jepang. Buku ini bercerita tentang seorang laki-laki pemalu, yang belum pernah punya pacar seumur hidup, tetapi akhirnya bisa 'nembak' seorang wanita yang pernah ditolong di kereta.
Ketika hidup mulai banyak ditimbang dari segi materi, begitu pula dengan urusan percintaan. Konsep 'yang kuat memakan yang lemah' mungkin akan berlaku juga di sini...
*Gokon : arena mencari pasangan, dimana beberapa orang cewek dan cowok ketemu di restoran untuk makan-minum dan saling mengenal.
Thursday, February 17, 2005
Mama, saya lulus.
Akhirnya kata-kata itu bisa juga saya ucapkan, meski hanya lewat telepon. Jujur saya merasa kelulusan kali ini sepertinya bukan sesuatu yang luar biasa. Setelah lewat usaha keras untuk lulus setiap mata kuliah, menghafal sederetan kanji &
technical term dalam bahasa Jepang, membaca berulang-ulang setumpuk paper demi mendapat ide riset, saya merasa wajar saja saya lulus. Mungkin kata-kata di atas terkesan sombong. Ah, saya hanya ingin mengatakan bahwa usaha itu suatu saat akan membuahkan hasil. Klise ya...
Usaha. Itu yang saya pelajari selama saya berada di negeri ini.
Gambaru. Kalau belum usaha, jangan bilang tidak bisa. Bukan cuma sekali orang berkomentar "Kamu pintar ya, bisa dapat beasiswa S2 ke luar negeri. Saya sih ga pintar seperti kamu, susah cari beasiswa... " .
Pintar ? Ho ho, kesimpulan itu terlalu cepat. Lewat pengalaman muter-muter cari beasiswa, lebih dari kepintaran yang cuma sedikit saya miliki, saya merasa ketekunanlah yang membuat saya bisa mendapat beasiswa yang sekarang ini.
Kuliah di luar negeri, awalnya mungkin hanya sekedar 'balas dendam' atas ke-iri-an saya melihat teman-teman saya yang bisa kuliah di luar negeri. SMP tempat saya bersekolah dulu, memang mayoritas pelajarnya berasal dari kalangan atas. Yang dengan gampang bisa melanjutkan sekolah di luar negeri segampang menjentikan jari. Kenyataannya, sekedar iri toh tidak akan mengubah keadaan ekonomi keluarga. Saya pikir, pasti ada jalan lain yang bisa ditempuh, lebih dari sekedar mengandalkan harta orang tua.
Dan jalan lain itu memang tidak mudah. Berkali-kali saya mencoba mencari beasiswa, berkali-kali pula saya merasakan kegagalan. Akhirnya saya pikir, saya harus punya sesuatu yang unik, yang akan jadi nilai tambah. Saya putuskan untuk ambil kursus bahasa Jepang. Pertimbangannya, meskipun bahasa ini terasa sulit dipelajari, siapa tahu suatu saat saya bisa pergi ke negeri sakura. Itu keputusan saya 8 tahun lalu. Belajar bahasa yang alfabetnya saja jauh berbeda, memang tidak mudah. Rasa malas sering menyerang, jenuh melihat karakter kanji yang tidak kunjung bisa dihafal. Main ke mal hari Sabtu lebih menyenangkan ketimbang harus berhadapan dengan pe-er yang mesti dikerjakan. Pulang ke rumah dan nonton sinetron akan lebih menyenangkan ketimbang menguras otak dan tenaga belajar bahasa sepulang kantor.
Sekarang saya pikir, usaha saya sekian lama bukan tanpa hasil. Akhirnya, saya bisa juga dapat kesempatan sekolah ke Jepang. Tapi, meski sudah cukup lama terbiasa dengan karakter Jepang, bukan berarti saya tidak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan serba sibuk ini.
Culture shock adalah soal lain yang juga butuh usaha keras. Beberapa uneg-uneg sempat saya tulis di blog ini, meski kadang-kadang saya pikir, beberapa di antaranya akan dibaca dengan pandangan aneh.
Awalnya memang terasa penuh tekanan. Di setiap mini seminar yang diadakan seminggu tiga kali di lab kami, saya harus selalu terjaga, kalau-kalau profesor memanggil nama saya untuk mengetes istilah bahasa Jepang atau formula matematik yang saya sudah lupa. Setiap kali berpapasan dengan asisten profesor, siap-siap menerima sindiran kalau saya (sengaja) lupa menulis laporan kemajuan riset. Mengelus dada, menahan tangis ketika draft riset saya dibanting di depan muka oleh tutor, dengan alasan anak TK pun bisa membuat tulisan seperti itu.
Tapi toh akhirnya saya terbiasa. Mencari topik riset sendiri, mengajukan ide original untuk penyelesaiannya, membuktikan bahwa ide itu memang berjalan dengan baik, mempertahankan opini meskipun sejujurnya saya tidak yakin bahwa apa yang saya katakan itu benar. Itu sudah jadi bagian dari kehidupan riset di lab ini.
Makanya, presentasi final yang 'hanya' selama 15 menit plus waktu tanya jawab 10 menit, disertai tulisan thesis yang hanya 11 halaman, sebenarnya terasa sebagai formalitas saja. Ketika profesor memanggil saya ke ruangannya jam 7 malam setelah presentasi dan menyatakan saya lulus, saya merasa semuanya adalah wajar.
Akhirnya, saya boleh menambah satu gelar di belakang nama saya. Tidak penting, menurut saya. Buat saya, lebih dari sekedar gelar, proses kuliah di Jepang yang tidak hanya meliputi bagaimana melakukan riset tapi juga bagaimana bertahan hidup di negeri orang, adalah suatu hal yang menjadi pelajaran berharga dalam hidup.
Sunday, February 13, 2005
Cokelat
Senin ini hari Valentine. Tapi cokelat sudah dijual sejak bulan Januari lalu. Toko kue bahkan menaruh etalase di luar toko, di pinggir jalan. Membuat wanita yang tak kuat godaan manis seperti saya memalingkan wajah, berusaha keras agar tidak sering-sering mampir membeli. Godaan besar perusak rencana diet... :)
Seingat saya dulu coklat itu termasuk barang mewah. Setiap kali bapak saya pulang dari dinas luar negeri, kopornya hanya diisi dengan oleh-oleh coklat. Kulkas di rumah kami akan penuh dengan coklat, sampai ibu kebingunan mau ditaruh dimana bahan makanan yang lain. Tapi berhubung bapak semakin lama semakin jarang dinas luar, maka makin berkuranglah kesempatan makan mewah dengan mulut berlumur coklat.
Pertama kali hidup sendiri jauh dari keluarga, hampir setiap hari saya mampir ke koperasi kampus untuk beli coklat. Tidak lagi terasa mahal, dan saya dengar bagus untuk mengendalikan stress. Ha ha, itu sih alasan saja. Pada dasarnya memang saya suka yang manis. Belakangan setelah menyadari ada turunan penyakit diabetes dalam darah saya, baru saya berusaha mengontrol makanan manis, termasuk coklat.
Valentine day di Jepang, hari khusus cewek memberikan cokelat untuk cowok yang disukai. Kenapa mesti cewek yang memberi coklat ? Ada yang bilang supaya cewek dapat kesempatan resmi. Tapi ada juga yang berpendapat, kan cowok Jepang pemalu. Bisanya menunggu :)
Kebiasaan pemberian coklat ini tidak cuma dilakukan di sekolah, tapi juga di kantor. Cewek yang belum menikah, biasanya menunggu-nunggu hari ini untuk menyerahkan kue coklat buatan sendiri ke cowok yang selama ini diam-diam disukai. Kalau cowok tsb suka juga, bisa memberi hadiah balasan pada
White day, tgl 14 Maret.
Dengar-dengar sih, ada saja cowok yang bolos sekolah waktu Valentine day karena takut tidak akan dapat cokelat. Berarti ga ada yang suka sama dia. Malu kan... Katanya di Korea ada hari khusus untuk para jomblo ini,
Black day, dimana sesama jomblo bersama-sama makan mie sambil pakai setelan hitam.
Mungkin ini sebabnya ada
giri choko, coklat yang diberikan ke teman cowok, bukan sebagai pernyataan cinta, tapi supaya yang menerima tidak merasa kesepian saja. Kalau budget yang disediakan untuk
hon choko, coklat valentine beneran, rata-rata seharga 3000 yen (1 yen sekitar 80 rupiah), giri choko rata-rata 'cuma' seharga 600 yen. Budget segitu masih terbilang sedikit, kalau dibandingkan dengan cokelat eksklusif impor dari Paris yang dijual di butik di Ginza. Kalau dikonversikan bisa jadi jutaan rupiah.
Tapi kalau memang cokelat itu enak, sayang dong kalau cuma dikasih ke orang lain. Ini namanya my choko, coklat hadiah untuk diri sendiri.
Lagipula, kalau memang suka, kenapa mesti nunggu hari Valentine ? Dan, kenapa mesti pakai cokelat ?
Sunday, February 06, 2005
Jepang, masih amankah ?
Jepang, mungkin masih dianggap sebagai negara dengan tingkat keamanan sangat tinggi. Namun jangan salah. Bukan berarti di Jepang ini tidak ada orang yang berbuat jahat.
Memang di Jepang ini, kita tidak menemui segerombolan cowok sangar yang siap minta uang secara paksa siapa saja yang lewat di depan mereka. Tidak ada gelandangan minta-minta. Tidak ada berita orang ditodong celurit disuruh menyerahkan telepon genggamnya. Orang kemana-mana bawa telepon genggam, sambil jalan kaki, atau di kereta. Orang berani bekerja dengan laptop di kendaraan umum. Aman. Terlalu aman, sampai orang terbuai. Heiwa boke, bahasa Jepangnya.
Lihat desain tas yang sering dipakai cewek Jepang. Desain yang membuat saya mikir, karena jenis tas seperti itu tidak bisa dipakai di Jakarta. Terlalu terbuka, bahkan transparan, gampang jadi sasaran pencopet. Loh, memang di Jepang aman kan ?
Tapi ada penjambret di sini. Yang diserang terutama wanita yang pakai tas bermerek. Yang populer biasanya Louis Vitton. Ga usah lihat isinya, tasnya saja bisa dijual dengan harga tinggi di pasar gelap. Peringatan tentang jambret sendiri juga banyak dipasang di ATM dan bank. Sepertinya sudah banyak kejadian penjambretan setelah korban mengambil uang.
Di depan toko kue dekat tempat tinggal saya, ada peringatan ditulis besar-besar. Awas,
cikan. Saya tidak menemukan kata bahasa Indonesia yang tepat, tapi terjemahannya kira-kira : "orang yang senang pegang-pegang bokong wanita". Tokyo, terutama di jam sibuk, naik kereta akan seperti dendeng. Press sana-sini. Berdiri pun susah. Tapi di saat penuh tekanan seperti itu, masih ada orang yang memanfaatkan situasi . Ada saja bapak-bapak yang seenaknya pegang -pegang gadis di depannya. Kejahatan seperti ini biasanya susah dibuktikan, apalagi kalau keretanya sangat penuh. Tapi sebaliknya, saya pernah dengar cerita wanita yang menuduh sembarang pria, supaya bisa menuntut uang.
Lalu, kenapa peringatan itu ditaruh di depan toko kue ya ? Saya juga masih bingung...
Eniwei, itu yang kelas rendah. Berita terakhir, dua orang anak kecil ditusuk kepalanya oleh seorang laki-laki di tempat penitipan anak departemen store Itoyokado di daerah Aichi-ken. Sang adik yang baru berumur 11 bulan akhirnya meninggal. Si pembunuh, sepertinya punya kelainan jiwa. Dia mengaku mendengar suara perintah untuk membunuh, tak peduli siapapun.
Kasus pembunuhan belakangan sering saya dengar di TV. Apalagi kasus kejahatan yang menimpa anak kecil. Tahun lalu, seorang anak perempuan ditemukan terbunuh. Si pembunuh mengaku membujuk anak perempuan itu, membunuhnya setelah puas melakukan kejahatan seksual. Si pembunuh ini terbukti punya kelainan, sangat berminat terhadap anak kecil.
Di Jepang ini memang anak kecil terbiasa jalan sendiri ke sekolah atau ke tempat kursus, tidak ditemani orang dewasa. Lebih mandiri, memang.
Ironisnya, banyak kasus kejahatan sepertinya terjadi karena alasan masalah mental. Bukan karena terdesak oleh kemiskinan.
Thursday, February 03, 2005
Sindrom Paris
Baca koran tgl 2 kemarin, ada artikel yang bikin saya tersenyum. Tentang 'Sindrom Paris' yang dialami orang Jepang yang tinggal di Paris. Dokter Ota, seorang psikiatris Jepang yang tinggal di Paris, mengungkapkan tentang sindrom ini.
Paris, di mata orang Jepang, mungkin bisa dianggap sebagai 'negri dongeng'. Surga barang bermerek. Louis Vuitton, Channel, Yves Saint Laurent. Eifel tower & Champs Elysees yang romantis. Lihat saja pamflet yang banyak dipajang di agent travel :
romantic tour di Paris, bulan madu, paket pernikahan.
Didekap mimpi tentang indahnya Paris, tidak sedikit orang Jepang yang ingin tinggal di Paris. Mulai dari ikut program pertukaran belajar, sampai memutuskan pindah kerja ke sana. Jangan heran, orang Jepang memang tidak direpotkan urusan visa. Asalkan ada uang, mereka bisa pergi. Soal uang pun bukan masalah besar untuk orang Jepang. Kerja part time di McDonald pun asalkan berhemat bisa jadi modal biaya hidup.
Tapi sepertinya Paris memang cuma cocok dijadikan tempat wisata. Tidak lagi tinggal di hotel mewah, banyak yang merasakan tidak mudahnya menjebol tembok perbedaan budaya. Setiap tahunnya sekitar 100 orang Jepang merasakan keluhan akibat tekanan mental : orang Perancis dianggap kurang ramah, terlalu banyak bicara, tidak mau mendengarkan jawaban padahal sudah tanya-tanya, dan orang Jepang merasa dibodohi dengan lelucon2 orang Perancis. Semua ini membuat depresi orang yang tinggal lebih dari tiga bulan. Bahkan ada yang menolak keluar apartemen berbulan-bulan karena tertekan dengan omongan orang. Tapi anehnya, banyak yang menolak kembali ke Jepang, karena merasa akan dianggap sebagap orang kalah.
Memang kalau sudah terbiasa dengan pelayanan Jepang, pelayanan di Paris akan terasa sangat jelek. Kadang-kadang saya malah berpikir, pelayanan di Indonesia lebih baik karena paling tidak kita bisa menyelipkan amplop, supaya cepat. Kalau di Paris, ga ngerti bahasa Perancisnya... :)
Pengalaman menginap di Paris, biarpun sudah pesan lewat travel agent di Tokyo, ternyata petugas hotel seenaknya memindahkan kami ke hotel lain. Alasannya hotel sudah penuh. Padahal, hotel itu sudah dipesan sejak dua minggu sebelumnya. Untungnya (orang Jawa banget sih, masih dipikir untungnya...) hari pertama kami dipindah ke hotel yang lebih bagus. Jadi ga sempet ngomel. Tapi ternyata pas hari terakhir, kami dipindah ke hotel yang lebih jelek. Lucunya pas kami datang ke hotel itu, ada sepasang bule yang marah2 sambil bilang kalau hotel itu mirip kandang babi. Sebenarnya sih ga separah itu, cuma memang rasanya kesal banget karena sudah bayar dengan harga lebih mahal dari apa yang diterima.
Satu lagi, selama jalan di Paris, saya pernah merasa dirampok di sebuah restoran kecil (lebih mirip warung kali ya...). Mungkin karena ga bisa bahasa Perancis cuma pakai bahasa isyarat, saya harus membayar tiga kali lipat dari harga yang saya perkirakan. Padahal, makanannya tidak berbeda dari apa yang biasa dibeli di hari-hari sebelumnya, di restoran serupa di daerah yang sama. Memang di situ tidak tertulis harga makanannya, sesuatu yang nyaris tidak pernah ada di Jepang.
Maklum deh, budget jalan-jalannya tipis banget. Lagi pula saya pikir, Perancis itu negara maju. Mestinya, pelayanan umum sebagus Jepang, dong.
Kok jadi curhat, sih ?
Tuesday, February 01, 2005
Tokyo -- sisi lain
Pengalaman tinggal bukan di negeri sendiri, juga kesempatan 'mengintip' negeri-negeri lain, membuat saya merasa bahwa bayangan "luar negeri = kaya" terpupus perlahan-lahan. Bahkan di Tokyo, kota yang kata orang punya tingkat kesejahteraan tinggi, punya gambaran kemiskinan sendiri. Menengok sudut stasiun, taman, bawah jembatan, akan terlihat satu dua sosok gelandangan berpakaian kumal, yang terkadang berbau menyengat, akibat berhari-hari tidak mandi.
Tentu saja, tidak lazim orang mandi di kali seperti yang biasa terlihat di Jakarta, dan untuk masuk pemandian umum pun orang harus mengeluarkan biaya. Di musim panas, tidur di dalam tenda plastik beralas kardus mungkin terasa nyaman jika kita membayangkan ganasnya angin malam di musim dingin, apalagi mengingat suhu rata-rata musim dingin sekitar 5℃.
Kereta, bisa menjadi sarana penghangat tersendiri, karena pemanas ruangan dalam kereta selalu menyala. Pernah suatu saat, saya masuk ke satu gerbong yang terlihat kosong, padahal gerbong lainnya penuh sesak. Ketika pintu tertutup, bau pesing menyebar ke dalam gerbong. Seorang wanita gelandangan, mungkin berumur sekitar 30-an, tertidur di salah satu kursi. Jelas terlihat celana panjangnya bernoda, bau amis.
Kalau ekonomi menjadi penyebab utama kemiskinan di negeri kita, faktor kesehatan mental tak kalah perannya di negeri maju ini. Hidup di sini memang penuh tekanan. Orang-orang hidup makin individualis, semakin tidak peduli pada orang sekitar, bahkan pada keluarga.
Hanya yang saya lihat di sini, mereka tidak pernah menadahkan tangan meminta uang kepada orang lewat. Mungkin sadar bahwa hal itu akan mengganggu orang yang diminta. Setiap orang punya kesusahan masing-masing. Tak perlu menambah susah orang lain.