daun singkong
tentang jepang dan indonesia
di mata seorang penggemar sayur daun singkong
Thursday, February 17, 2005

Mama, saya lulus.

Ini meja saya Akhirnya kata-kata itu bisa juga saya ucapkan, meski hanya lewat telepon. Jujur saya merasa kelulusan kali ini sepertinya bukan sesuatu yang luar biasa. Setelah lewat usaha keras untuk lulus setiap mata kuliah, menghafal sederetan kanji & technical term dalam bahasa Jepang, membaca berulang-ulang setumpuk paper demi mendapat ide riset, saya merasa wajar saja saya lulus. Mungkin kata-kata di atas terkesan sombong. Ah, saya hanya ingin mengatakan bahwa usaha itu suatu saat akan membuahkan hasil. Klise ya...

Usaha. Itu yang saya pelajari selama saya berada di negeri ini. Gambaru. Kalau belum usaha, jangan bilang tidak bisa. Bukan cuma sekali orang berkomentar "Kamu pintar ya, bisa dapat beasiswa S2 ke luar negeri. Saya sih ga pintar seperti kamu, susah cari beasiswa... " .

Pintar ? Ho ho, kesimpulan itu terlalu cepat. Lewat pengalaman muter-muter cari beasiswa, lebih dari kepintaran yang cuma sedikit saya miliki, saya merasa ketekunanlah yang membuat saya bisa mendapat beasiswa yang sekarang ini.

Kuliah di luar negeri, awalnya mungkin hanya sekedar 'balas dendam' atas ke-iri-an saya melihat teman-teman saya yang bisa kuliah di luar negeri. SMP tempat saya bersekolah dulu, memang mayoritas pelajarnya berasal dari kalangan atas. Yang dengan gampang bisa melanjutkan sekolah di luar negeri segampang menjentikan jari. Kenyataannya, sekedar iri toh tidak akan mengubah keadaan ekonomi keluarga. Saya pikir, pasti ada jalan lain yang bisa ditempuh, lebih dari sekedar mengandalkan harta orang tua.

Dan jalan lain itu memang tidak mudah. Berkali-kali saya mencoba mencari beasiswa, berkali-kali pula saya merasakan kegagalan. Akhirnya saya pikir, saya harus punya sesuatu yang unik, yang akan jadi nilai tambah. Saya putuskan untuk ambil kursus bahasa Jepang. Pertimbangannya, meskipun bahasa ini terasa sulit dipelajari, siapa tahu suatu saat saya bisa pergi ke negeri sakura. Itu keputusan saya 8 tahun lalu. Belajar bahasa yang alfabetnya saja jauh berbeda, memang tidak mudah. Rasa malas sering menyerang, jenuh melihat karakter kanji yang tidak kunjung bisa dihafal. Main ke mal hari Sabtu lebih menyenangkan ketimbang harus berhadapan dengan pe-er yang mesti dikerjakan. Pulang ke rumah dan nonton sinetron akan lebih menyenangkan ketimbang menguras otak dan tenaga belajar bahasa sepulang kantor.

Sekarang saya pikir, usaha saya sekian lama bukan tanpa hasil. Akhirnya, saya bisa juga dapat kesempatan sekolah ke Jepang. Tapi, meski sudah cukup lama terbiasa dengan karakter Jepang, bukan berarti saya tidak kesulitan beradaptasi dengan lingkungan serba sibuk ini. Culture shock adalah soal lain yang juga butuh usaha keras. Beberapa uneg-uneg sempat saya tulis di blog ini, meski kadang-kadang saya pikir, beberapa di antaranya akan dibaca dengan pandangan aneh.

Awalnya memang terasa penuh tekanan. Di setiap mini seminar yang diadakan seminggu tiga kali di lab kami, saya harus selalu terjaga, kalau-kalau profesor memanggil nama saya untuk mengetes istilah bahasa Jepang atau formula matematik yang saya sudah lupa. Setiap kali berpapasan dengan asisten profesor, siap-siap menerima sindiran kalau saya (sengaja) lupa menulis laporan kemajuan riset. Mengelus dada, menahan tangis ketika draft riset saya dibanting di depan muka oleh tutor, dengan alasan anak TK pun bisa membuat tulisan seperti itu.

Tapi toh akhirnya saya terbiasa. Mencari topik riset sendiri, mengajukan ide original untuk penyelesaiannya, membuktikan bahwa ide itu memang berjalan dengan baik, mempertahankan opini meskipun sejujurnya saya tidak yakin bahwa apa yang saya katakan itu benar. Itu sudah jadi bagian dari kehidupan riset di lab ini.

Makanya, presentasi final yang 'hanya' selama 15 menit plus waktu tanya jawab 10 menit, disertai tulisan thesis yang hanya 11 halaman, sebenarnya terasa sebagai formalitas saja. Ketika profesor memanggil saya ke ruangannya jam 7 malam setelah presentasi dan menyatakan saya lulus, saya merasa semuanya adalah wajar.

Akhirnya, saya boleh menambah satu gelar di belakang nama saya. Tidak penting, menurut saya. Buat saya, lebih dari sekedar gelar, proses kuliah di Jepang yang tidak hanya meliputi bagaimana melakukan riset tapi juga bagaimana bertahan hidup di negeri orang, adalah suatu hal yang menjadi pelajaran berharga dalam hidup.
kategori tulisan lama

kumpulan foto

Shopping yuk !

Satu Cinta Lingerie Apa Impian Anda ?

shoutbox

sponsor & link

Powered by Blogger
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com
BlogFam Community
blog-indonesia
Get Firefox!
JANGAN ASAL COPY PASTE..

email me
created by emiliana dewi aryani
@ 2004 - 2011