Kebahagiaan wanita, dimanakah ?
Ibu Sawa, penjaga training room di kampus saya suatu hari mengeluhkan anak perempuannya yang sudah berumur 30 tahun, tapi belum berminat menikah. Sambil menyeruput teh hangat saya mendengarkan ceritanya, yang sepertinya mewakili kekhawatiran sebagian besar orang tua Jepang beberapa tahun belakangan ini.Anak Ibu Sawa ini punya karir di perusahaan IT, dan lebih semangat bekerja ketimbang mencari teman hidup. Tinggal dengan orang tua, jadi tidak pernah pusing dengan urusan uang. Gaji setiap bulan dihabiskan untuk memuaskan diri dengan barang bermerek dan pergi ke kafe dengan teman wanita. Sangat menikmati hidup, tidak berusaha mencoba mengubah status, dan pada akhirnya membuat khawatir kedua orang tuanya. Single Parasite.
Cerita serupa beberapa kali saya dengar dari kenalan Jepang yang lain. Meski tidak semuanya tinggal dengan orang tua, hidup dengan status single tampaknya lebih menarik ketimbang menikah.
Kata "Make inu ": anjing kalah, populer digunakan untuk menyebut perempuan berumur lebih dari 30 tahun, masih sendiri, dan tidak punya anak. Sebaliknya, perempuan yang sudah menikah disebut "Kachi inu" : anjing pemenang. Musim gugur 2003, Junko Sakai menulis buku berjudul "Make inu no toboe" : lolongan anjing kalah. Isinya membahas ttg fenomena perempuan2 mandiri ini. Menurut statistik tahun 2000, persentasi wanita Jepang tidak menikah umur 30 - 34 tahun adalah lebih dari 26%, sedangkan umur 35 ke atas adalah 14%. Junko Sakai sendiri pada saat buku tsb keluar berumur 37 tahun dan tidak menikah.
Sukses dalam karir, sebagian memiliki kondiminium mewah sendiri, leluasa membeli pakaian dan perhiasan bermerek, tapi dilihat orang lain sebagai 'wanita yang tidak bahagia' karena tidak berkeluarga.
Padahal, menikah pun tidak selalu berarti 'hidup bahagia selama-lamanya' seperti cerita Cinderela kan ? Hidup dengan suami pun bukan berarti lepas dari kesepian, dan masalah yg perlu dihadapi dalam perkawinan pun tidak sedikit.
Kalau dulu banyak wanita beranggapan menikah dan melahirkan anak adalah hal yg sepantasnya, sepertinya hal kebalikannya pun mulai bisa diterima. Tidak hanya di Jepang, di Indonesia pun 'make inu' ini juga mulai banyak, meskipun masih sulit diterima masyarakat.
Seorang teman saya, perempuan Indonesia (tampaknya) berumur lebih dari 30 tahun, bergelar doktor, sangat brilian. Saya tidak heran kalau suatu saat hadiah nobel diraih mbak yang satu ini. Sampai sekarang, dia masih memilih berkarir di sebuah pusat penelitian di Jepang. Belum ingin pulang, karena kalau pulang pasti diteror dengan pertanyaan kapan menikah.