daun singkong
tentang jepang dan indonesia
di mata seorang penggemar sayur daun singkong
Sunday, July 31, 2005

Story from Shanghai

Rabu malam. Akhirnya saya bisa juga merebahkan diri di atas kasur tipis di apartemen sempit saya di pinggiran Tokyo. Ahh... seandainya pesawat berangkat dari bandara Pudong - Shanghai tepat waktu, tidak tertunda satu jam seperti yang terjadi waktu itu, sebenarnya saya tidak perlu repot buru-buru menerobos imigrasi dan bea cukai, ngos-ngosan berlari mengejar bis terakhir tujuan daerah tempat saya tinggal. Tapi semua penumpang, yang saya lihat lebih dari separuhnya orang Jepang, seperti maklum atas keterlambatan pesawat China Air. Di Cina, terlambat adalah hal yang biasa... komentar yang sepertinya juga berlaku untuk negeri sendiri...

Berhubung hari berikutnya saya wajib langsung masuk kantor, postingan cerita tentang Shanghai otomatis baru bisa saya tulis week end ini.

Shanghai... rasanya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Suhu udara di musim panas yang saya rasa mencapai 40 derajat, pembangunan shopping mall di mana-mana, dengan masih menyisakan kaum ekonomi bawah yang mengemis di pinggiran jalan. Hanya di Shanghai sudah ada kereta monorail dan subway sebagai alat transportasi massal yang praktis.

Image hosted by Photobucket.comKeterbatasan waktu membuat saya tidak bisa mengeksplorasi maksimal kota ini. Hanya sempat berkunjung ke beberapa tempat wisata, yang sebagian besar adalah tempat belanja. Tapi berhubung saya bukan tipe wanita-penggemar-shopping, tempat-tempat yang saya kunjungi ini cukup memberikan gambaran tentang Shanghai.

Xianyang market, terletak tidak jauh di stasiun Shangxi di kereta Metro jalur 1. Di sekitar jalan masuk, orang sudah menawarkan tas bermerek, sambil menunjukkan brosur berisi gambar tas. "Bag, mami ? Gucci ? Prada ? Vitton ?" Dengan agresif mereka mengikuti langkah saya, terkadang sambil mencolek lengan. Huh, enak aja, emang gue cewek apa dicolek-colek...

Xianyang mungkin bisa dibilang seperti blok M. Barang yang dijual umumnya tas, sepatu, baju, dompet, dan cenderamata khas China. Beberapa info yang saya dapat dari internet bilang bahwa barang di pasar ini sebaiknya ditawar. Pasar ini sepertinya populer di kalangan wisatawan, melihat banyaknya turis bule di situ. Komunikasi terjadi menggunakan bahasa inggris ala pasar, "One hundred, Sir ! what ? fifty ? No, no fifty. Sixty ! Sir ! Sir ! OK ! Fifty !" ditambah kalkulator sebagai penunjang. Melihat harganya, saya tidak yakin barang bermerek yang ditawarkan benar-benar asli. Aha, mungkin dari sinilah asal barang-barang aspal yang dijual di Mangga Dua...

Image hosted by Photobucket.comPusat belanja lain ada di Xujiahui, beberapa stasiun sebelum Shangxi di jalur yang sama. Kali ini, beberapa bangunan tinggi shopping mall tampak menjulang. Barang yang dijual jauh lebih mahal ketimbang yang dijual di Xianyang, beberapa bahkan tidak jauh beda dengan apa yang dijual di Tokyo. Ada beberapa gedung yang menjadi pusat perbelanjaan elektronik.Bayangkan Glodok, dengan engkoh-engkoh berbicara dengan bahasa yang saya nggak mudeng, dan disini adalah biangnya...

The Bund, tempat wisata yang disebut-sebut sebagai tempat paling romantis di Shanghai. Sepanjang jalan yang dibangun di pinggir sungai Huangpu. Dari sini, terlihat area Pudong di seberang sungai, area yang berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir, sebagai pusat bisnis dan industri.

Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Image hosted by Photobucket.comYuyuan market bisa dicapai dengan jalan kaki sekitar tiga puluh menit, yang di bawah matahari Shanghai yang menyengat cukup membuat keringat keluar berember-ember. Pasar ini saya rasa adalah yang paling 'China' dibanding pasar-pasar yang lain. Dengan setting bangunan tradisional, tempat ini menawarkan jualan barang-barang khas China, yang sayangnya tidak bisa dibilang murah.

Orang memprediksikan bahwa China semakin hari semakin menjadi pemegang peran kekuasaan ekonomi dunia. Saya tidak terlalu tahu tentang hal ini, tapi yang dilihat dari kelakuan orang-orang di Shanghai, sangat berbeda jauh dengan orang Jepang.

Satu hal yang mencolok adalah: orang China cenderung tidak mau antri. Ketika subway datang, semua orang berebut masuk tanpa mempedulikan bahwa kelakuannya menghambat orang yang hendak turun. Lain dengan Jepang yang otomatis menunggu di sisi kiri dan kanan pintu kereta, dan baru naik setelah orang yang turun selesai.

Seorang rekan China dengan jujur mengatakan, tidak hanya dalam mengantri, dalam bisnis pun orang China cenderung menempuh segala cara demi keuntungan sendiri.

Bayangkan pasar Mangga Dua ditaruh dalam satu gerbong kereta. Orang-orang berbicara dengan suara keras, terdengar seperti bertengkar dan saling memarahi di telinga saya. Telepon genggam, yang di Jepang dilarang digunakan di dalam kereta, dengan bebas dipakai. Suara deringannya pun cenderung ramai dan bervariasi, ketimbang telepon genggam di Jepang yang cenderung 'hati-hati supaya tidak mengganggu orang sekitar'.

Di sisi lain, saya sendiri merasa lebih santai di Shanghai. Bisa duduk seenaknya, bisa makan di dalam kereta, tidak seperti Tokyo yang terasa lebih ketat dan harus menurut aturan.

Makanya seperti yang saya tulis di atas, sepertinya Shanghai tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Lalu kapan Indonesia bisa berperan utama di ekonomi dunia ? Atau sudah lewatkah masa-masa itu ?
Friday, July 22, 2005

Shanghainese Food

Image hosted by Photobucket.comSaya pernah cerita bahwa makan siang di kantin pabrik tempat saya bekerja sementara ini porsinya sangat besar. Biarpun saya sudah minta porsi setengah, mereka tetap menyodorkan nampan berisi porsi kuli. Kalau dipikir, kok bisa ya, orang-orang di pabrik ini makan dengan porsi banyak tapi badannya tetap kurus. Tidak hanya buruh pabrik yang mendapat jatah porsi besar. Pegawai kantoran pun juga dapat jatah porsi yang sama. Sangat berlebih untuk dimakan sendiri, dimakan berdua pun saya rasa cukup.

Ternyata mereka melakukan seperti apa yang saya perbuat : tidak memakan habis makanan yang disediakan. Sisa-sisa makanan saya lihat tertumpuk menggunung di pintu keluar. Otomatis saya bilang kepada rekan kerja yang orang China, "Kenapa kalian tidak memberikan porsi dalam jumlah yang lebih kecil saja ? Kan sayang, makanannya bersisa banyak seperti itu." Dia menjawab, "Di sini makanan berlimpah, dan sangat murah. Dibuang pun orang tidak merasa sayang."

Padahal di negeri sendiri masih ada saja kasus busung lapar...

Mungkin wilayah China yang sangat luas, ditambah dengan biaya tenaga yang sangat murah, membuat makanan dengan gampang diperoleh, sampai berlebih. Rekan saya mengatakan bahwa pemberian jatah makan siang gratis, atau tepatnya sudah diperhitungkan dalam gaji, adalah hal yang lumrah di China.

Lain halnya dengan restoran dalam guide book yang terkadang menampilkan harga 'lumayan menguras kantong', harga makanan di Shanghai saya rasa tidak jauh berbeda dengan harga di Jakarta. Kadang malah lebih murah.

Ayam goreng potongan yang dijual di kios kecil berharga 3 yuan, sekitar 3600 rupiah. Bakmi goreng dijual di carefour seharga 4,5 yuan per 500 gr, atau 5400 rupiah. Kue pie telur yang saya pernah lihat dijual di mal-mal di Jakarta, disini dijual dengan harga 5 yuan untuk 3 buah, atau 2000 rupiah persatuannya. Sedangkan macam-macam bubble tea yang juga bisa ditemui di mal-mal di Jakarta, dijual seharga 1 yuan atau sekitar 1200 rupiah. Macam-macam bakpau dijual antara 1 sampai 2 yuan.

Namun sayangnya, lidah daun singkong saya masih belum bisa menempatkan makanan Shanghai di posisi favorit. Dulu saya pikir masakan china itu enak-enak. Capcay, cah kangkung, udang goreng mentega, macam-macam mie. Pokoknya yang ada di kepala saya ya menu-menu yang biasa keluar di menunya restoran Chinese food.

Tapi...

Ternyata saya terlalu mengharapkan yang berlebihan. Sudah lima hari di Shanghai, dan saya malah jadi bingung, kok rasanya masakan China di sini malah tidak bisa diharapkan. Sop asparagus yang saya makan rasanya selalu terlalu asin. Cah sayur rasanya selalu hambar. Bakmi apalagi. Bakmi GM, gang kelinci, bahkan mie bangka yang dulu mangkal di depan sekolah saja rasanya jauh lebih mantep.

Duh, kok isoh ngene yo...

Sekarang saya jadi ngerti kenapa orang China yang ada di Jepang, setiap kali diajak makan di China town Yokohama, banyak yang menolak, dengan alasan "Yang dihidangkan di China town, bukan masakan China asli."

Lah ya, apalagi yang di Indonesia...

Jadi mulai sekarang kalau saya ditanya tentang masakan China, saya bakal jawab "Saya suka masakan China, tapi masakan China Indonesia."
Tuesday, July 19, 2005

Shanghai

Dua minggu lalu atasan memanggil saya dan menugaskan saya ke Shanghai untuk observasi implementasi suatu software. Jujur, Shanghai tidak termasuk dalam daftar kota yang ingin saya kunjungi. Selain karena sama sekali tidak ngerti bahasa mandarin, saya tidak yakin Shanghai punya obyek wisata menarik selain untuk tujuan shopping. Apalagi saya harus pergi sendiri, ke daerah industri yang jauh dari pusat kota.

Minggu sore kemarin, terbanglah saya ke Shanghai. Bandara Pudong ternyata lebih bersih dan megah dari perkiraan saya. Hanya saja seperti yang sudah saya duga, suasana orang-orang di bandara sangat ramai. Rasanya semua orang seperti bicara teriak-teriak seperti di film kungfu. Mungkin buat saya yang baru datang dari bandara Narita Tokyo, suasana di Narita jadi terasa jauh lebih tenang dan ramah.

Ternyata hotel tempat saya akan menginap letaknya jauh dari kota, sampai supir taksi pun sedikit bingung karena tidak tahu jalan. Jangankan GPS seperti yang selalu ada di taksi Tokyo, peta pun tidak ada. Rasanya taksi di Jakarta lebih bagus daripada di Shanghai ini. Paling tidak di Jakarta atau Surabaya, sudah banyak mobil baru yang digunakan untuk Taksi. Rasanya di jalan2 di Shanghai, saya lebih sering melihat mobil tua ketimbang mobil baru.

Minhang distrik, daerah industri yang terletak kira-kira satu jam perjalanan naik mobil dari pusat kota Shanghai, adalah tempat dimana saya akan bekerja selama 10 hari ini. Tidak ada bangunan menarik di sekitar sini, hanya ada pabrik dan pabrik.

Beberapa tahun ini, memang banyak perusahaan Jepang yang melakukan ekspansi ke China. Selain dekat, biaya produksi masih sangat murah, situasi negara China pun relatif lebih aman, ketimbang Indonesia yang banyak demo & bom misalnya. Banyak perusahaan Jepang yang membangun pabriknya di Shanghai ini.

Tidak hanya Jepang, investasi asing lainnya juga seperti memacu Shanghai sehingga berkembang pesat. Banyak orang bilang, wajah Shanghai selalu berubah setiap tahun, saking banyaknya bangunan baru.

Pembangunan pesat juga termasuk pembuatan transportasi masal kereta dalam kota dan kereta bawah tanah. Dari bandara Pudong, ada kereta super cepat Maglev yang punya maksimum kecepatan lebih dari 400 km/jam. kalau dari bandara ke pusat kota butuh waktu kurang dari satu jam, dengan Maglev ini, pusat kota bisa dicapai dengan hanya 8 menit perjalanan. Kereta ini baru beroperasi 2 tahun lalu, dan sayangnya hanya bergerak di waktu siang hari saja.

Daerah minhang sendiri baru tahun lalu selesai dibangun jalur kereta. Rangkaian kereta dan stasiun masih terlihat baru. Berada di dalam gerbong yang berAC memang terasa sangat nyaman, apalagi cuaca sangat terik, dengan suhu udara di luar bisa mencapai 35 derajat celcius di siang hari. Tapi mungkin terlalu nyaman, sampai orang dengan santainya menelentangkan kakinya di antara kursi dan tidur. Beberapa orang duduk dengan mengangkat kaki sambil mengobrol seperti di warkop, pemandangan yang tidak mungkin ditemukan di Tokyo.

Kemarin sore, seorang rekan mengajak saya jalan-jalan ke supermarket besar yang terletak tiga stasiun dari hotel. Dari jendela kereta, terlihat banyak bangunan apartemen tinggi, yang terlihat tua dengan jendelanya dipenuhi jemuran. Supermarketnya sendiri, dari tipe eskalator dan tata letak barangnya saya merasa itu adalah Carefour, tapi ternyata bukan Carefour, melainkan Auchan. Ketika membayar, petugas kasir terlihat sangat tekun memeriksa lembar per lembar uang yang diterima. Uang palsu sepertinya memang isu besar di sini.

Hari ini, mulailah pekerjaan saya di suatu pabrik pemroduksi pipa air. Jam makan siang, project manager mengajak kami makan di kantin perusahaan. Menunya : nasi porsi kuli, sayur pepaya muda ('kates', kata orang Jawa) tanpa rasa, acar timun, daging super asin, dan sayur sangat bening. Membuat saya merasa, makanan warteg di Jakarta jauh lebih enak ketimbang yang saya makan siang ini.

NB: Saya belum berani ambil foto di sini. Seorang rekan memperingatkan saya untuk berhati-hati dalam membawa dompet dan barang berharga. Meskipun Shanghai relatif lebih aman ketimbang daerah lain di China, lebih baik berhati-hati ketimbang menyesal kemudian.
Saturday, July 09, 2005

Oleh-oleh dari tempat training

Ini ada sedikit oleh-oleh dari tempat training...
Diambil dari lantai 27 sebuah gedung di daerah Ootemachi, tidak seberapa jauh dari stasiun Tokyo. Sayang cuaca mendung, karena masih musim hujan.

Tokyo di depan mata.







Sedikit warna hijau di sela gedung.







Sedikit hijau juga di atas gedung.







Kereta cepat shinkansen di kejauhan.






Main yuk, di lapangan di atas gedung!






From a distance...
Saturday, July 02, 2005

Katakanlah dengan bir !

Image hosted by Photobucket.com"Kalau trainingnya sudah selesai, nanti kita minum-minum bareng ya !" ajak seorang teman sesama peserta training.

Nomikai, atau kumpul bareng untuk minum, saya anggap sebagai bagian dari budaya bangsa Jepang ini. Budaya yang kelihatannya agak susah diikuti orang Indonesia.

Di universitas, nomikai biasanya diadakan setelah selesai simposium atau presentasi. Ketika ada anggota lab yang selesai presentasi kelulusan, anggota lab yang lebih muda 'wajib' menyiapkan acara nomikai sebagai ungkapan 'otsukare-sama': anda sudah bekerja keras untuk ujian ini, mari minum untuk merayakan kelulusan anda. Tidak hanya mahasiswa yang hadir, tapi juga profesor pembimbing lab berikut asistennya.

Di lingkungan kerja, nomikai terkadang dianggap sebagai 'alasan' untuk menghibur diri setelah capek bekerja. Pada Jumat malam, bapak-bapak yang tergeletak mabuk di stasiun atau mengoceh sendiri tidak karuan adalah pemandangan yang biasa. Kemeja yang lecek, dasi berlepotan bercak bir, dan bau mulut yang menyengat. Apalagi semakin mendekati tengah malam, jangan harap bisa menghirup udara segar di dalam kereta.

Namun sebenarnya, nomikai bisa dianggap sebagai sarana sosialisasi, mengingat banyak orang cenderung lebih leluasa bicara dengan orang lain di saat nomikai. Meskipun ada banyak orang, situasi lab atau kantor yang cenderung sunyi membuat orang hanya bisa bicara seperlunya saja. Dengan didorong dengan kekuatan alkohol, mulailah orang bisa bercerita banyak hal, tentang kehidupan pribadi, tentang hal-hal lain diluar pekerjaan.

Ada kalanya, nomikai dianggap sebagai bagian dari pekerjaan. Di situ orang melakukan pendekatan kepada calon pelanggan, atau atasan, atau orang yang perlu didekati. Suasana yang longgar membuat orang cenderung bicara berlebihan, tetapi bisa menjadi 'masukan' dalam menyusun strategi negosiasi.

Karena alasan agama, tidak sedikit teman Indonesia atau negara lain yang menolak ikut acara nomikai. Ada orang Jepang menganggap mereka yang tidak pernah ikut nomikai sebagai 'bukan teman', karena dianggap tidak mau ikut bersenang-senang.

Meskipun tersedia berbagai jenis makanan, biasanya makanan dihidangkan dalam porsi kecil yang tidak cukup mengenyangkan, karena minum adalah acara utama. Biasanya diawali dengan minum bir, baru kemudian mulai makan sedikit-sedikit sambil ngobrol. Kalau datang dengan perut lapar, jangan mengharapkan pulang dengan perut kenyang seperti layaknya makan di restoran. Alkohol memang hidangan utama, tapi minuman non alkohol pun bukan tabu untuk dipesan. Meskipun agama yang saya anut tidak melarang minum alkohol, biasanya saya lebih memilih memesan teh ulong atau orange juice. Selain saya merasa terlalu banyak alkohol tidak baik untuk kesehatan, orang cenderung bicara berlebihan di bawah pengaruh alkohol.

Rasanya semakin banyak bir yang dituang, semakin lancar orang mengungkapkan unek-uneknya. Tentang masalah pribadi, situasi kantor, tentang pekerjaan, bahkan tentang atasan, meskipun orang yang diomongkan duduk tepat di depannya. Justru di saat seperti ini, orang merasa inilah saat yang tepat untuk bicara apapun, tanpa takut pekerjaannya akan kena pengaruh.

Tetapi, meskipun nomikai diadakan di hari kerja sampai larut malam, jangan harap akan dapat kelonggaran untuk jam kerja esok pagi. Selarut apapun nomikai diadakan, sepening apapun kepala karena sisa mabuk semalam, pekerjaan tetap harus diselesaikan sesuai waktu. Lucunya, begitu masuk suasana kerja, kejadian kemarin malam seperti terlupakan begitu saja. Kembali ke suasana dingin, serius, dan tidak peduli orang lain.
kategori tulisan lama

kumpulan foto

Shopping yuk !

Satu Cinta Lingerie Apa Impian Anda ?

shoutbox

sponsor & link

Powered by Blogger
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com
BlogFam Community
blog-indonesia
Get Firefox!
JANGAN ASAL COPY PASTE..

email me
created by emiliana dewi aryani
@ 2004 - 2011