Story from Shanghai
Rabu malam. Akhirnya saya bisa juga merebahkan diri di atas kasur tipis di apartemen sempit saya di pinggiran Tokyo. Ahh... seandainya pesawat berangkat dari bandara Pudong - Shanghai tepat waktu, tidak tertunda satu jam seperti yang terjadi waktu itu, sebenarnya saya tidak perlu repot buru-buru menerobos imigrasi dan bea cukai, ngos-ngosan berlari mengejar bis terakhir tujuan daerah tempat saya tinggal. Tapi semua penumpang, yang saya lihat lebih dari separuhnya orang Jepang, seperti maklum atas keterlambatan pesawat China Air. Di Cina, terlambat adalah hal yang biasa... komentar yang sepertinya juga berlaku untuk negeri sendiri...Berhubung hari berikutnya saya wajib langsung masuk kantor, postingan cerita tentang Shanghai otomatis baru bisa saya tulis week end ini.
Shanghai... rasanya tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Suhu udara di musim panas yang saya rasa mencapai 40 derajat, pembangunan shopping mall di mana-mana, dengan masih menyisakan kaum ekonomi bawah yang mengemis di pinggiran jalan. Hanya di Shanghai sudah ada kereta monorail dan subway sebagai alat transportasi massal yang praktis.

Xianyang market, terletak tidak jauh di stasiun Shangxi di kereta Metro jalur 1. Di sekitar jalan masuk, orang sudah menawarkan tas bermerek, sambil menunjukkan brosur berisi gambar tas. "Bag, mami ? Gucci ? Prada ? Vitton ?" Dengan agresif mereka mengikuti langkah saya, terkadang sambil mencolek lengan. Huh, enak aja, emang gue cewek apa dicolek-colek...
Xianyang mungkin bisa dibilang seperti blok M. Barang yang dijual umumnya tas, sepatu, baju, dompet, dan cenderamata khas China. Beberapa info yang saya dapat dari internet bilang bahwa barang di pasar ini sebaiknya ditawar. Pasar ini sepertinya populer di kalangan wisatawan, melihat banyaknya turis bule di situ. Komunikasi terjadi menggunakan bahasa inggris ala pasar, "One hundred, Sir ! what ? fifty ? No, no fifty. Sixty ! Sir ! Sir ! OK ! Fifty !" ditambah kalkulator sebagai penunjang. Melihat harganya, saya tidak yakin barang bermerek yang ditawarkan benar-benar asli. Aha, mungkin dari sinilah asal barang-barang aspal yang dijual di Mangga Dua...

The Bund, tempat wisata yang disebut-sebut sebagai tempat paling romantis di Shanghai. Sepanjang jalan yang dibangun di pinggir sungai Huangpu. Dari sini, terlihat area Pudong di seberang sungai, area yang berkembang sangat pesat beberapa tahun terakhir, sebagai pusat bisnis dan industri.



Orang memprediksikan bahwa China semakin hari semakin menjadi pemegang peran kekuasaan ekonomi dunia. Saya tidak terlalu tahu tentang hal ini, tapi yang dilihat dari kelakuan orang-orang di Shanghai, sangat berbeda jauh dengan orang Jepang.
Satu hal yang mencolok adalah: orang China cenderung tidak mau antri. Ketika subway datang, semua orang berebut masuk tanpa mempedulikan bahwa kelakuannya menghambat orang yang hendak turun. Lain dengan Jepang yang otomatis menunggu di sisi kiri dan kanan pintu kereta, dan baru naik setelah orang yang turun selesai.
Seorang rekan China dengan jujur mengatakan, tidak hanya dalam mengantri, dalam bisnis pun orang China cenderung menempuh segala cara demi keuntungan sendiri.
Bayangkan pasar Mangga Dua ditaruh dalam satu gerbong kereta. Orang-orang berbicara dengan suara keras, terdengar seperti bertengkar dan saling memarahi di telinga saya. Telepon genggam, yang di Jepang dilarang digunakan di dalam kereta, dengan bebas dipakai. Suara deringannya pun cenderung ramai dan bervariasi, ketimbang telepon genggam di Jepang yang cenderung 'hati-hati supaya tidak mengganggu orang sekitar'.
Di sisi lain, saya sendiri merasa lebih santai di Shanghai. Bisa duduk seenaknya, bisa makan di dalam kereta, tidak seperti Tokyo yang terasa lebih ketat dan harus menurut aturan.
Makanya seperti yang saya tulis di atas, sepertinya Shanghai tidak jauh berbeda dengan Jakarta. Lalu kapan Indonesia bisa berperan utama di ekonomi dunia ? Atau sudah lewatkah masa-masa itu ?