Katakanlah dengan bir !
"Kalau trainingnya sudah selesai, nanti kita minum-minum bareng ya !" ajak seorang teman sesama peserta training.Nomikai, atau kumpul bareng untuk minum, saya anggap sebagai bagian dari budaya bangsa Jepang ini. Budaya yang kelihatannya agak susah diikuti orang Indonesia.
Di universitas, nomikai biasanya diadakan setelah selesai simposium atau presentasi. Ketika ada anggota lab yang selesai presentasi kelulusan, anggota lab yang lebih muda 'wajib' menyiapkan acara nomikai sebagai ungkapan 'otsukare-sama': anda sudah bekerja keras untuk ujian ini, mari minum untuk merayakan kelulusan anda. Tidak hanya mahasiswa yang hadir, tapi juga profesor pembimbing lab berikut asistennya.
Di lingkungan kerja, nomikai terkadang dianggap sebagai 'alasan' untuk menghibur diri setelah capek bekerja. Pada Jumat malam, bapak-bapak yang tergeletak mabuk di stasiun atau mengoceh sendiri tidak karuan adalah pemandangan yang biasa. Kemeja yang lecek, dasi berlepotan bercak bir, dan bau mulut yang menyengat. Apalagi semakin mendekati tengah malam, jangan harap bisa menghirup udara segar di dalam kereta.
Namun sebenarnya, nomikai bisa dianggap sebagai sarana sosialisasi, mengingat banyak orang cenderung lebih leluasa bicara dengan orang lain di saat nomikai. Meskipun ada banyak orang, situasi lab atau kantor yang cenderung sunyi membuat orang hanya bisa bicara seperlunya saja. Dengan didorong dengan kekuatan alkohol, mulailah orang bisa bercerita banyak hal, tentang kehidupan pribadi, tentang hal-hal lain diluar pekerjaan.
Ada kalanya, nomikai dianggap sebagai bagian dari pekerjaan. Di situ orang melakukan pendekatan kepada calon pelanggan, atau atasan, atau orang yang perlu didekati. Suasana yang longgar membuat orang cenderung bicara berlebihan, tetapi bisa menjadi 'masukan' dalam menyusun strategi negosiasi.
Karena alasan agama, tidak sedikit teman Indonesia atau negara lain yang menolak ikut acara nomikai. Ada orang Jepang menganggap mereka yang tidak pernah ikut nomikai sebagai 'bukan teman', karena dianggap tidak mau ikut bersenang-senang.
Meskipun tersedia berbagai jenis makanan, biasanya makanan dihidangkan dalam porsi kecil yang tidak cukup mengenyangkan, karena minum adalah acara utama. Biasanya diawali dengan minum bir, baru kemudian mulai makan sedikit-sedikit sambil ngobrol. Kalau datang dengan perut lapar, jangan mengharapkan pulang dengan perut kenyang seperti layaknya makan di restoran. Alkohol memang hidangan utama, tapi minuman non alkohol pun bukan tabu untuk dipesan. Meskipun agama yang saya anut tidak melarang minum alkohol, biasanya saya lebih memilih memesan teh ulong atau orange juice. Selain saya merasa terlalu banyak alkohol tidak baik untuk kesehatan, orang cenderung bicara berlebihan di bawah pengaruh alkohol.
Rasanya semakin banyak bir yang dituang, semakin lancar orang mengungkapkan unek-uneknya. Tentang masalah pribadi, situasi kantor, tentang pekerjaan, bahkan tentang atasan, meskipun orang yang diomongkan duduk tepat di depannya. Justru di saat seperti ini, orang merasa inilah saat yang tepat untuk bicara apapun, tanpa takut pekerjaannya akan kena pengaruh.
Tetapi, meskipun nomikai diadakan di hari kerja sampai larut malam, jangan harap akan dapat kelonggaran untuk jam kerja esok pagi. Selarut apapun nomikai diadakan, sepening apapun kepala karena sisa mabuk semalam, pekerjaan tetap harus diselesaikan sesuai waktu. Lucunya, begitu masuk suasana kerja, kejadian kemarin malam seperti terlupakan begitu saja. Kembali ke suasana dingin, serius, dan tidak peduli orang lain.