daun singkong
tentang jepang dan indonesia
di mata seorang penggemar sayur daun singkong
Friday, July 22, 2005

Shanghainese Food

Image hosted by Photobucket.comSaya pernah cerita bahwa makan siang di kantin pabrik tempat saya bekerja sementara ini porsinya sangat besar. Biarpun saya sudah minta porsi setengah, mereka tetap menyodorkan nampan berisi porsi kuli. Kalau dipikir, kok bisa ya, orang-orang di pabrik ini makan dengan porsi banyak tapi badannya tetap kurus. Tidak hanya buruh pabrik yang mendapat jatah porsi besar. Pegawai kantoran pun juga dapat jatah porsi yang sama. Sangat berlebih untuk dimakan sendiri, dimakan berdua pun saya rasa cukup.

Ternyata mereka melakukan seperti apa yang saya perbuat : tidak memakan habis makanan yang disediakan. Sisa-sisa makanan saya lihat tertumpuk menggunung di pintu keluar. Otomatis saya bilang kepada rekan kerja yang orang China, "Kenapa kalian tidak memberikan porsi dalam jumlah yang lebih kecil saja ? Kan sayang, makanannya bersisa banyak seperti itu." Dia menjawab, "Di sini makanan berlimpah, dan sangat murah. Dibuang pun orang tidak merasa sayang."

Padahal di negeri sendiri masih ada saja kasus busung lapar...

Mungkin wilayah China yang sangat luas, ditambah dengan biaya tenaga yang sangat murah, membuat makanan dengan gampang diperoleh, sampai berlebih. Rekan saya mengatakan bahwa pemberian jatah makan siang gratis, atau tepatnya sudah diperhitungkan dalam gaji, adalah hal yang lumrah di China.

Lain halnya dengan restoran dalam guide book yang terkadang menampilkan harga 'lumayan menguras kantong', harga makanan di Shanghai saya rasa tidak jauh berbeda dengan harga di Jakarta. Kadang malah lebih murah.

Ayam goreng potongan yang dijual di kios kecil berharga 3 yuan, sekitar 3600 rupiah. Bakmi goreng dijual di carefour seharga 4,5 yuan per 500 gr, atau 5400 rupiah. Kue pie telur yang saya pernah lihat dijual di mal-mal di Jakarta, disini dijual dengan harga 5 yuan untuk 3 buah, atau 2000 rupiah persatuannya. Sedangkan macam-macam bubble tea yang juga bisa ditemui di mal-mal di Jakarta, dijual seharga 1 yuan atau sekitar 1200 rupiah. Macam-macam bakpau dijual antara 1 sampai 2 yuan.

Namun sayangnya, lidah daun singkong saya masih belum bisa menempatkan makanan Shanghai di posisi favorit. Dulu saya pikir masakan china itu enak-enak. Capcay, cah kangkung, udang goreng mentega, macam-macam mie. Pokoknya yang ada di kepala saya ya menu-menu yang biasa keluar di menunya restoran Chinese food.

Tapi...

Ternyata saya terlalu mengharapkan yang berlebihan. Sudah lima hari di Shanghai, dan saya malah jadi bingung, kok rasanya masakan China di sini malah tidak bisa diharapkan. Sop asparagus yang saya makan rasanya selalu terlalu asin. Cah sayur rasanya selalu hambar. Bakmi apalagi. Bakmi GM, gang kelinci, bahkan mie bangka yang dulu mangkal di depan sekolah saja rasanya jauh lebih mantep.

Duh, kok isoh ngene yo...

Sekarang saya jadi ngerti kenapa orang China yang ada di Jepang, setiap kali diajak makan di China town Yokohama, banyak yang menolak, dengan alasan "Yang dihidangkan di China town, bukan masakan China asli."

Lah ya, apalagi yang di Indonesia...

Jadi mulai sekarang kalau saya ditanya tentang masakan China, saya bakal jawab "Saya suka masakan China, tapi masakan China Indonesia."
kategori tulisan lama

kumpulan foto

Shopping yuk !

Satu Cinta Lingerie Apa Impian Anda ?

shoutbox

sponsor & link

Powered by Blogger
Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com
BlogFam Community
blog-indonesia
Get Firefox!
JANGAN ASAL COPY PASTE..

email me
created by emiliana dewi aryani
@ 2004 - 2011