Saya hanya bisa menangis
Saya hanya bisa menangis
Ketika mendengar berita dari radio internet bahwa kota yang tercantum di kolom tempat lahir KTP saya itu terkena bencana.
Saya hanya bisa menangis
Ketika lewat telepon mendengar ayah saya berkata bahwa nenek saya sudah tiada.
Saya hanya bisa menangis
Ketika membaca sms dari adik saya :
"Mbak, ini adikmu. Dari keluarga di Jogja, yang meninggal Mbah Sunggingan. Saudara-saudara yang lain ga apa apa tapi rumahnya hancur. Ini lagi nunggu pesawat ke Smrg. Bandara Jogja ditutup."
"Ini sudah di Jogja. Mbah sudah dimakamkan. Rumahnya rata."
Saya hanya bisa menangis
Ketika mencoba melihat siaran liputan 6 yang terputus-putus lewat internet.
Saya hanya bisa menangis
Ketika akhirnya bisa melihat gambar yang lebih jelas dari berita NHK.
Saya hanya bisa menangis
Ketika membaca berita koran tentang negara tercinta dilanda bencana lagi.
Maafkan saya karena saya hanya bisa menangis.
Penyakit bulan Mei
Baru saja sakit gigi sembuh, saya terkena penyakit lain: penyakit bulan Mei. Sepertinya saya tertular teman-teman kantor, yang lebih dulu menunjukkan gejalanya sejak awal bulan ini. Gejalanya :
- Jam masuk kantor semakin siang satu menit setiap hari, sementara jam pulang semakin cepat satu menit setiap hari.
- Istirahat makan siang dipenuhi dengan keluhan kenapa kantor tidak punya fasilitas sofa empuk dan bantal untuk tidur siang.
- Firefox dibuka dengan dua tab : yang satu berisi home page untuk referensi pekerjaan, yang satu lagi... ya untuk ngebrowse blog dong... Meskipun setengah ngedumel dalam hati ternyata banyak blog yang belum juga diupdate, termasuk blog sendiri :-)
Dengan kata lain, penyakit bulan mei ini punya nama alias : penyakit MALES.
Tapi penyakit bulan mei, atau bahasa Jepangnya :
go gatsu byou, percaya atau tidak adalah penyakit nasionalnya orang Jepang. Buktinya, kata-kata "go gatsu byou" tercantum di kamus bookshelf Jepang-Inggris yang saya punya. Terjemahannya : "the letdown [depression] that comes a month or two after a freshman enters college".
Meskipun saya sih sudah tidak fresh lagi dan tidak sampai depresi, boleh dong saya 'menyalahkan' penyakit bulan Mei ini sebagai biang kerok kesulitan saya berkonsentrasi ke pekerjaan.
Kenapa bulan Mei sih ? Alasannya :
- Karena bulan April itu bulan penuh ketegangan, karena di bulan April ini muncul pegawai baru yang masih fresh from the school. Di Jepang, penerimaan pegawai baru biasanya dilakukan di bulan April, karena tahun ajaran sekolah selesai bulan Maret, dan penerimaan ini dilakukan serentak. Nah, karena masih baru, wajar dong kalau pegawai
freshman tegang. Dan yang tegang nggak cuma yang baru masuk, tapi juga yang sudah tidak fresh. Ikut-ikut tegang aja...
- Sedangkan bulan Juni itu juga bulan deg-degan. Deg-degan karena menunggu bonus musim panas. Ihiy... !
- Di bulan Mei sendiri, ada peralihan dari musim dingin ke musim panas, dimana suhu rata-rata mulai menghangat berkisar di atas 20 derajat Celcius. Suhu yang tepat untuk bermalas-malasan setelah lepas dari ketegangan bulan April dan sebelum mulai deg-degan mikirin bonus bulan Juni. Apalagi bulan Mei di Jepang selalu diawali dengan libur panjang
golden week, yang makin membuat otak enggan berputar dari sejak awal bulan.
Selama jadi pegawai, ada dua hari yang selalu saya tunggu-tunggu setiap bulan : hari libur dan hari gajian. Anda juga kan ?
Mengingat libur panjang baru saja berlalu (meskipun terasa sudah lama sekali), dan libur panjang berikutnya masih harus menunggu lebih dari dua bulan lagi, tinggal hari gajian yang saya harapkan bisa segera menyembuhkan penyakit bulan lima ini. Dan hari yang saya tunggu-tunggu itu akan datang besok... yippi !
Gigi
Sabtu dua minggu lalu, akhirnya saya beranikan pergi ke dokter gigi. Rasa ngilu yang sudah cukup lama saya tahan toh akhirnya menjebol juga pertahanan kesabaran saya. Biarpun sudah bukan anak-anak lagi, pergi ke dokter (gigi maupun umum) bukan suatu pilihan gampang buat saya. Bukan karena saya takut dengan sosok berbaju putih itu, tapi karena malas mikir bagaimana cara ngomongnya. Dari pada repot mencari kata-kata di kamus yang belum tentu tepat dan sesuai dengan apa yang saya rasakan, mendingan saya tahan deh. Kalau hanya sakit pilek atau pusing sedikit, lebih baik minum neozep atau panadol yang saya bawa dari Indonesia. Sedangkan soal gigi, selama masih bisa ditahan, lebih baik nanti saja borongan pergi cek gigi ke dokter kalau pulang ke Indonesia. Lebih bebas bisa mengungkapkan sesuai dengan perasaan hati kan ?
Tapi dua minggu lalu akhirnya saya menyerah. Sakit gigi saya rasa-rasanya melebihi sakit hati deh... *gombal mode on*. Akhirnya saya beranikan tanya-tanya soal kata-kata khusus kedokteran gigi bahasa Jepang yang perlu saya ingat. Perjalanan ke tempat praktek dokter gigi penuh dengan komat-kamit saya menghafal apa yang perlu saya omongkan ke pak dokter nanti.
Tapi toh nyatanya, sampai di kursi eksekusi itu, otak saya langsung membeku. Silaunya lampu di atas muka dan garangnya bunyi bor gigi yang dipakai dokter untuk mengeksekusi pasien sebelah cukup membuat hafalan saya hilang semua. Tadi, saya mau ngomong apa ya ? Oh oh...
Untung pak dokter yang masih muda itu mengerti kegalauan hati saya. Bicaranya diperlambat, diganti dengan kata-kata yang lebih mudah, dan bahkan diulang beberapa kali. Ditambah dengan senjata kertas dan bolpen untuk menggambarkan kondisi gigi saya dan cara penyembuhannya, yang ternyata tidak bisa selesai hanya dengan sekali datang. Oh oh...
Kali kedua saya datang ke dokter gigi itu pagi ini, saya lebih bisa rileks. Baru saya sadar bahwa di ruangan pak dokter itu diputar lagu instrumennya David Foster. Baru saya lihat ada buku panduan wisata ke Indonesia terbitan tahun 80-an di rak ruang tunggu, dengan gambar om Rhoma Irama dan om Rano Karno waktu jaman muda dulu, lengkap dengan celana cut brai dan kemeja yang kancing atasnya lepas. Di atas kursi eksekusi, mungkin karena saya lebih banyak bicara ketimbang kali sebelumnya, si pak dokter kemudian memuji "wah... bahasa jepangnya mahir sekali..."
Tapi percakapan hanya sampai disitu. Kata-kata pak dokter berikutnya : "Kalau sakit, angkat tangannya ya... !", diikuti dengan pernyataan bahwa dia akan membabat gusi saya yang terlanjur tumbuh menutupi lubang tempat seharusnya gigi berada. Tak sampai semenit, saya sudah bersemangat mengangkat tangan, memenuhi isyarat peringatan otak saya terhadap serangan membabi buta bornya pak dokter di gusi saya. Sakitnya... oh oh...
Setelah itu saya tak berniat bicara, meskipun pak dokter sudah memberikan obat bius. Selanjutnya, saya hanya bisa meng-haik haik-kan saja apa kata pak dokter. Apalagi ketika dibilang, "Obat bius ini akan hilang pengaruhnya setelah dua jam. Perlu obat peredam sakit ?" Oh... oh... haik... haik...