Gemuk yang proporsional ??
Saya tertawa ketika membaca artikel di koran Kompas minggu kemarin. Tulisannya tentang beberapa orang beken yang ukuran tubuhnya extra large.
Artikel itu diawali dengan pernyataan bahwa kegemukan tidak selalu berarti tidak sehat, jauh jodoh, dan jauh dari bahagia.
Saya tidak akan berkomentar tentang hubungan antara ukuran tubuh dengan jodoh atau kebahagiaan. It's depend on the person, dan saya percaya bahwa belum ada teori yang sanggup merumuskan hubungan antara gemuk - jodoh - bahagia.
Anyway, yang membuat saya tergelitik adalah bahwa seolah-oleh public figure itu ingin supaya masyarakat menganggap bahwa kegemukan adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang jadi masalah.
Ketika saya tinggal di Jepang, setiap kali pulang ke Jakara, yang muncul dalam komentar saya sering kali, " Orang Jakarta makin banyak yang makmur." Dari tahun ke tahun saya perhatikan pipinya si Mandra tambah bulat, Tika Panggabean tambah membesar, dan tidak sedikit artis-artis lain yang seingat saya beberapa tahun lalu badannya tidak semelar sekarang.
Di Jepang, bukan tidak ada artis yang berukuran big, tapi saya belum menemukan artis yang ukuran bodynya bertambah seiring dengan ketenarannya. (Kalau ukuran dadanya saja, banyak... he he he)
Ketika jalan-jalan di mal di Jakarta, bukan sekali dua kali saya lihat anak ABG dengan badan sebesar pesumo yang makan es krim atau cemilan sambil jalan-jalan di pertokoan. Mungkin saya memang tidak terbiasa dengan pemandangan banyaknya orang gemuk di sekitar saya. Tapi mengingat semakin mudahnya kita mendapatkan makanan enak di Jakarta (dan saya percaya, juga di kota2 lainnya), mungkin bukan hal yang aneh melihat banyak orang semakin bertambah melar dari tahun ke tahun, dan masyarakat kita tidak lagi memandang aneh pada orang yang ukuran tubuhnya amat sangat besar.
Beberapa bulan tinggal di Jakarta, saya perhatikan bahwa di sepanjang jalan sekitar tempat tinggal saya dipenuhi penjual makanan, mulai dari yang kelas gerobak, tenda kaki lima, warung, sampai restoran. Jakarta bisa dibilang kota yang sangat praktis untuk mencari makan (makan loh, bukan uang.... ). Hanya sayangnya, makanan yang menurut saya sehat bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya bukan hanya makanan yang dijual di pinggir jalan saja, bahkan masakan rumahan pun menurut saya cenderung berminyak, berlemak, dan kurang sehat.
Tinggal beberapa tahun di Jepang membiasakan saya untuk makan masakan yang cenderung tidak berbumbu, mengingat masakan Jepang kebanyakan hanya mengandalkan rasa asli dari bahan makanan itu sendiri. Kalaupun diberi perasa, paling-paling hanya kecap jepang shoyu, mirin, sake masak, garam, dan merica. Meskipun masakan yang terkenal di restoran fast food Jepang di Indonesia adalah serba gorengan, sebenarnya tidak sedikit masakan Jepang yang sebenarnya hanya direbus atau dikukus.
Sementara itu, masakan Indonesia banyak yang mengandalkan bumbu-bumbu beraroma tajam, sebagian besar menggunakan minyak goreng - berbagai macam gorengan dan tumisan, atau kalaupun direbus harus menggunakan santan, sehingga menurut saya selain tinggi lemak, juga sedikit 'membutakan' lidah orang Indonesia pada rasa asli bahan makanan. Di satu sisi, memang bahan makanan yang tersedia di negeri ini belum bisa terjamin kualitas rasa dan kebersihannya, sehingga rasanya susah menipu lidah kalau bahan itu disajikan mentah atau hanya dengan sedikit bumbu saja.
Kebiasaan makan mungkin hanya permulaan dari health-mindednya masyarakat Jepang. Sosialisasi tentang pentingnya mengatur pola makan bagi kesehatan bisa dilihat dari banyaknya acara TV di Jepang yang membahas tentang tubuh manusia.
Ketika masih di Jepang, saya punya tontonan favorit "Aru-aru daijiten", sebuah acara di stasiun Fuji Television yang membahas tentang kesehatan dan kecantikan secara menarik dan mudah dicerna orang awam. Sayangnya, acara ini sudah dilarang siaran karena ada beberapa tema acaranya yang dianggap menipu masyarakat karena penyajian data eksperimen yang fiktif.
Setelah tinggal di Jakarta, Saya merelakan kocek saya sedikit berkurang demi bisa menonton siaran NHK. Setiap Rabu malam, ada acara "Science for Everyone" yang kerap mengingatkan saya tentang pentingnya hidup sehat, terutama di kota sumpek yang penuh polusi ini. Acara masak memasak pun biasanya selalu disertai informasi berapa kalori yang terkandung dalam makanan yang dibuat.
Di Jakarta, saya merasa kesadaran tentang gaya hidup & pola makan sehat sangatlah kurang. Banyak acara TV tentang wisata kuliner yang bisa bikin ludah menetes, tapi saya belum menemukan acara TV tentang kesehatan yang mudah dicerna seperti yang saya lihat di TV Jepang.
Jangan tanya tentang kebiasaan olah raga. Klub-klub fitness memang menjamur di Jakarta, apalagi sekarang ini sedang ngetrend fitness di mal, tetap saja ini butuh biaya yang tidak sedikit. Sedangkan untuk bepergian jarak dekat, orang Jakarta lebih memilih naik kendaraan ketimbang jalan kaki. Secara udara Jakarta nggak memungkinkan untuk dihirup sambil jalan kaki gitu loh... Sedangkan waktu di Tokyo, mau nggak mau setiap hari saya harus jalan kaki, mengingat tidak ada ojek atau angkot.
Kembali ke artikel yang saya baca tadi, saya agak merasa aneh dengan satu pernyataan dari seorang tokoh, yang dengan tinggi 170 cm dan berat 100 kg, merasa bahwa tubuh gemuknya adalah proporsional. Well, mungkin dia sudah membuat definisi baru tentang keproporsionalan itu sendiri.
Dari artikel yang saya baca itu, terlihat bahwa kegemukan juga butuh biaya hidup tidak sedikit. Rasanya lucu bagi saya ketika membaca bahwa salah seorang yang ukuran tubuhnya besar 'terpaksa' membeli pakaian di luar negeri karena ukuran dalam negeri sudah tidak ada yang muat. Duh mbak, mbok duitnya itu dipake untuk amal buat saudara-saudara kita yang masih bingung bisa makan atau tidak hari ini gitu...
Artikel itu diawali dengan pernyataan bahwa kegemukan tidak selalu berarti tidak sehat, jauh jodoh, dan jauh dari bahagia.
Saya tidak akan berkomentar tentang hubungan antara ukuran tubuh dengan jodoh atau kebahagiaan. It's depend on the person, dan saya percaya bahwa belum ada teori yang sanggup merumuskan hubungan antara gemuk - jodoh - bahagia.
Anyway, yang membuat saya tergelitik adalah bahwa seolah-oleh public figure itu ingin supaya masyarakat menganggap bahwa kegemukan adalah hal yang biasa, bukan sesuatu yang jadi masalah.
Ketika saya tinggal di Jepang, setiap kali pulang ke Jakara, yang muncul dalam komentar saya sering kali, " Orang Jakarta makin banyak yang makmur." Dari tahun ke tahun saya perhatikan pipinya si Mandra tambah bulat, Tika Panggabean tambah membesar, dan tidak sedikit artis-artis lain yang seingat saya beberapa tahun lalu badannya tidak semelar sekarang.
Di Jepang, bukan tidak ada artis yang berukuran big, tapi saya belum menemukan artis yang ukuran bodynya bertambah seiring dengan ketenarannya. (Kalau ukuran dadanya saja, banyak... he he he)
Ketika jalan-jalan di mal di Jakarta, bukan sekali dua kali saya lihat anak ABG dengan badan sebesar pesumo yang makan es krim atau cemilan sambil jalan-jalan di pertokoan. Mungkin saya memang tidak terbiasa dengan pemandangan banyaknya orang gemuk di sekitar saya. Tapi mengingat semakin mudahnya kita mendapatkan makanan enak di Jakarta (dan saya percaya, juga di kota2 lainnya), mungkin bukan hal yang aneh melihat banyak orang semakin bertambah melar dari tahun ke tahun, dan masyarakat kita tidak lagi memandang aneh pada orang yang ukuran tubuhnya amat sangat besar.
Beberapa bulan tinggal di Jakarta, saya perhatikan bahwa di sepanjang jalan sekitar tempat tinggal saya dipenuhi penjual makanan, mulai dari yang kelas gerobak, tenda kaki lima, warung, sampai restoran. Jakarta bisa dibilang kota yang sangat praktis untuk mencari makan (makan loh, bukan uang.... ). Hanya sayangnya, makanan yang menurut saya sehat bisa dihitung dengan jari. Sebenarnya bukan hanya makanan yang dijual di pinggir jalan saja, bahkan masakan rumahan pun menurut saya cenderung berminyak, berlemak, dan kurang sehat.
Tinggal beberapa tahun di Jepang membiasakan saya untuk makan masakan yang cenderung tidak berbumbu, mengingat masakan Jepang kebanyakan hanya mengandalkan rasa asli dari bahan makanan itu sendiri. Kalaupun diberi perasa, paling-paling hanya kecap jepang shoyu, mirin, sake masak, garam, dan merica. Meskipun masakan yang terkenal di restoran fast food Jepang di Indonesia adalah serba gorengan, sebenarnya tidak sedikit masakan Jepang yang sebenarnya hanya direbus atau dikukus.
Sementara itu, masakan Indonesia banyak yang mengandalkan bumbu-bumbu beraroma tajam, sebagian besar menggunakan minyak goreng - berbagai macam gorengan dan tumisan, atau kalaupun direbus harus menggunakan santan, sehingga menurut saya selain tinggi lemak, juga sedikit 'membutakan' lidah orang Indonesia pada rasa asli bahan makanan. Di satu sisi, memang bahan makanan yang tersedia di negeri ini belum bisa terjamin kualitas rasa dan kebersihannya, sehingga rasanya susah menipu lidah kalau bahan itu disajikan mentah atau hanya dengan sedikit bumbu saja.
Kebiasaan makan mungkin hanya permulaan dari health-mindednya masyarakat Jepang. Sosialisasi tentang pentingnya mengatur pola makan bagi kesehatan bisa dilihat dari banyaknya acara TV di Jepang yang membahas tentang tubuh manusia.
Ketika masih di Jepang, saya punya tontonan favorit "Aru-aru daijiten", sebuah acara di stasiun Fuji Television yang membahas tentang kesehatan dan kecantikan secara menarik dan mudah dicerna orang awam. Sayangnya, acara ini sudah dilarang siaran karena ada beberapa tema acaranya yang dianggap menipu masyarakat karena penyajian data eksperimen yang fiktif.
Setelah tinggal di Jakarta, Saya merelakan kocek saya sedikit berkurang demi bisa menonton siaran NHK. Setiap Rabu malam, ada acara "Science for Everyone" yang kerap mengingatkan saya tentang pentingnya hidup sehat, terutama di kota sumpek yang penuh polusi ini. Acara masak memasak pun biasanya selalu disertai informasi berapa kalori yang terkandung dalam makanan yang dibuat.
Di Jakarta, saya merasa kesadaran tentang gaya hidup & pola makan sehat sangatlah kurang. Banyak acara TV tentang wisata kuliner yang bisa bikin ludah menetes, tapi saya belum menemukan acara TV tentang kesehatan yang mudah dicerna seperti yang saya lihat di TV Jepang.
Jangan tanya tentang kebiasaan olah raga. Klub-klub fitness memang menjamur di Jakarta, apalagi sekarang ini sedang ngetrend fitness di mal, tetap saja ini butuh biaya yang tidak sedikit. Sedangkan untuk bepergian jarak dekat, orang Jakarta lebih memilih naik kendaraan ketimbang jalan kaki. Secara udara Jakarta nggak memungkinkan untuk dihirup sambil jalan kaki gitu loh... Sedangkan waktu di Tokyo, mau nggak mau setiap hari saya harus jalan kaki, mengingat tidak ada ojek atau angkot.
Kembali ke artikel yang saya baca tadi, saya agak merasa aneh dengan satu pernyataan dari seorang tokoh, yang dengan tinggi 170 cm dan berat 100 kg, merasa bahwa tubuh gemuknya adalah proporsional. Well, mungkin dia sudah membuat definisi baru tentang keproporsionalan itu sendiri.
Dari artikel yang saya baca itu, terlihat bahwa kegemukan juga butuh biaya hidup tidak sedikit. Rasanya lucu bagi saya ketika membaca bahwa salah seorang yang ukuran tubuhnya besar 'terpaksa' membeli pakaian di luar negeri karena ukuran dalam negeri sudah tidak ada yang muat. Duh mbak, mbok duitnya itu dipake untuk amal buat saudara-saudara kita yang masih bingung bisa makan atau tidak hari ini gitu...