Pak Gula
Di kantor saya ada seseorang yang saya anggap sebagai biang gosip. Bukan, dia bukan ibu-ibu gendut cerewet berdandan menor. Bayangkan dia seorang bapak-bapak umur akhir 40-an, setengah botak, dan berkaca mata. Namanya, kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia bisa berarti “gula dan garam“. Weird name, eh?Sebagai tambahan, nama keluarga paling populer di Jepang: Sato, dalam bahasa Indonesia bisa berarti gula.
Eh, sebenarnya karakter kanji nama "sato" dan gula "sato" itu beda. Kalau melihat kanjinya, arti sebenarnya nama "sato" itu bukan gula, tapi kalau hanya disebut "sato" saja tanpa melihat kanjinya, bisa berarti gula. Bingung? Ya sudahlah…
Kembali ke bapak penggosip tadi. Saya sebut saja bapak penggosip ini Pak Gula, ok?
Pak Gula ini punya posisi tetap di pojok ruangan.
Sebenarnya meja kerja di kantor kami sistemnya free, siapapun yang datang terlebih dahulu ke kantor boleh memilih posisi yang diinginkan. Siapa cepat dia dapat. Di ruangan tempat pegawai kerja, ada 5 meja besar, tanpa partisi, sehingga pegawai bebas memilih mau duduk di sisi mana saja. Semua pegawai dibekali laptop, jadi bisa bebas bekerja dengan posisi apa saja. Meskipun jumlah total pegawai di kantor Tokyo ada kurang lebih 50 orang, sebagian besar bekerja di tempat klien, dan hanya waktu-waktu tertentu jika project selesai pegawai kembali bekerja di kantor. Biasanya paling-paling hanya ada sekitar 10 orang ada di kantor, termasuk Pak Gula yang saya ceritakan tadi.
Sejak bapak ini pindah ke kantor saya awal tahun ini, dia memilih duduk di posisi pojok, yang bebas dari lalu larang orang di belakangnya. Tahu kan, kerja dengan komputer rasanya risih kalau ada orang lewat di belakang, jangan-jangan nanti ketahuan kalau lagi main solitaire... Mungkin bapak ini merasa kurang nyaman dengan konsep free space di kantor kami, sehingga dia menyusun beberapa karton tempat dokumen, mengelilingi meja tempatnya bekerja. Kami menyebut deretan karton ini tembok berlin.
Bapak ini sepertinya ingin menciptakan lingkungan tertutup untuk dirinya sendiri. Tapi anehnya, dia selalu berbicara dengan suara super keras waktu menelepon. Oh ya, bapak ini profesinya sebagai sales di kantor kami, jadi frekuensi hubungan perteleponan sangat sering. Sedangkan pegawai yang lain biasa bekerja dengan diam, paling hanya suara ketikan keyboard saja.
Awalnya memang terasa terganggu kalau si bapak ini mulai menelepon. Tapi, setelah semakin lama didengarkan, percakapan telepon Pak Gula ini semakin menimbulkan daya tarik tersendiri. Dengan hanya mendengarkan suara satu arah (suara si bapak saja), kita bisa berimajinasi sebenarnya apa yang terjadi di telepon itu. Misalnya begini:
PG (Pak Gula): moshi moshi, ini saya Gula yang dulu kerja di kantor ABC consulting.
LB (Lawan Bicara, hasil imajinasi saya): oh Pak Gula, apa kabar pak?
PG: Baik-baik saja. Iya nih, sekarang saya udah pindah kantor. Abis gimana ya, kantor ABC itu udah ga beres. Orang-orangnya aja dah pada keluar. Mana proyeknya ga ada lagi. Konsultan seniornya aja tinggal satu orang, itu tuh yang waktu itu ikut proyeknya pasar malem… bla bla bla…
LB, berusaha motong pembicaraan: Oh ya, oh ya, haik, haik, Jadi maksud bapak nelpon kesini apa?
PG: Eh iya yah… Gini nih. Kantor baru saya ini lagi ada proyek nih, tapi kurang orang. Situ ada orang yang bisa saya pinjem nggak?
LB: Ada sih, tapi orang India, gimana?
PG: Wah kalo bisa jangan orang India deh. Dulu saya pernah dapet satu. Emang sih tekniknya pada jago, tapi bahasa jepangnya berantakan banget. Ga mau ngerti orang Jepang maunya apa. Mana suka telat lagi. Duh pokoknya, kalo bisa jangan orang asing deh, susah diaturnya!
S (saya, sambil nyengir-nyengir, merasa jadi bagian dari topik pembicaraan, kan saya juga orang asing!): dum du du dum…
TKS (Teman Kantor Saya, melirik saya sambil ikut nyengir): …
LB: Wah adanya cuman dia, Pak! Gini aja deh, kalau nanti ada yang available, saya telpon bapak deh!
PG: Yah… sayang banget, padahal ini proyek lumayan loh! Ya udah deh kalo gitu saya tunggu teleponnya!
---
Begitulah, bapak ini memang terkenal suka membicarakan orang lain di telepon, dengan suara keras pulak! Apalagi sepertinya dia tidak bisa menerima orang asing. Awalnya saya pikir, karena dia masih baru dan saya lebih sering ke tempat klien ketimbang di kantor, dia seenaknya menjelekkan orang asing meskipun tahu ada saya di dekat situ. Kenyataannya, hal ini tetap saja terjadi sampai sekarang.
Tapi kalau lama-lama diperhatikan, berkat suara telepon si Pak Gula ini, saya jadi tahu gosip-gosip terbaru seputar 'teman' kantor. Apalagi suasana kantor sehari-hari itu jadi terasa sunyi sepi kalau si bapak ini tidak ada. Lewat percakapan satu arah Pak Gula, dan dengan didukung oleh daya imajinasi saya yang cukup bisa diandalkan (!), saya jadi tahu kalau :
- si Ali ternyata sering dimarahi project managernya karena sering pulang cepat, dengan alasan istrinya hamil.
- si Bejo ternyata kena depresi dan sering bolos kerjaan.
- si Codot pernah dimarahi klien karena telat meeting, janjinya jam 10 ternyata di baru muncul jam 12, gara-gara telat bangun, dan akhirnya sang klien mengancam nggak mau membayar biaya proyek...
dan lain lain...
Setiap saya 'pulang' ke kantor setelah selesai proyek di tempat customer, saya selalu mencari tahu kabar terbaru lewat teman kantor yang mendengar suara telepon Pak Gula.
Suatu hari saya mendengar bahwa kebiasaan si bapak ini mereda setelah Pak kepala divisi memanggil Pak Gula, dan memperingati supaya berita-berita kurang baik jangan sampai terdengar di antara pegawai lain. Peringatan ini sepertinya memang membuat Pak Gula sedikit mengerem kebiasaannya, sampai suatu hari saya mendengar suara telepon si bapak, ketika sedang menelepon istrinya :
"Loh, kok bisa sih kamu membiarkan dia membeli itu barang ! Itu kan mahal banget ! APA ? PAKE KARTU KREDIT DICICIL SATU TAHUN ? Kamu sih, nggak bisa mendidik anak sendiri ! Memangnya gampang cari duit ! Kamu yang cuma di rumah aja kok nggak bisa ngatur anak... !!
Hari itu juga saya tahu alasan kenapa Pak Gula selalu makan roti dan pop mie di mejanya untuk makan siang...