Mengejar gulali
Saya sempat terkejut waktu mengambil nomor urut di kantor imigrasi minggu lalu untuk memperpanjang visa kerja. Nomor yang ada di tangan saya: 864. Sekilas saya melirik nomor yang terpampang di loket. 521. Berarti saya masih harus menunggu lebih dari 300 orang sebelum saya bisa mengajukan aplikasi perpanjangan visa kerja. Hah, salah besar saya datang ke kantor ini di masa orang ramai memperpanjang visa. Beruntung di depan loket banyak disediakan kursi tunggu.Sambil menghabiskan waktu, saya perhatikan orang-orang asing di sekitar saya. Sebagian besar saya tebak berasal dari Cina dan Korea, dilihat dari cara bicara dan gayanya. Beberapa saya lihat wajah asia sekitar India, dan saya dengar bahasa amerika latin simpang siur di telinga. Ketika iseng saya mampir ke convenience store untuk membeli minuman, berkali-kali saya ditegur dengan sapaan "Filipino ?" Dan tentu saja, satu dua kali saya merasa melihat wajah sejenis yang saya punya: sawo matang, mata hitam, dan senyum khas asia tenggara.
Mengajukan visa kerja di Jepang, bisa dibilang gampang. Gampang kalau bisa memenuhi persyaratannya. Saya bilang begitu, karena semua persyaratannya jelas, tidak ada yang disembunyikan atau dibuat berbelit-belit, dan tidak berubah antara apa yang tertulis di homepage dengan apa yang dijelaskan mbak petugas. Dan terlebih, tidak perlu pusing memikirkan perlu menyiapkan uang amplop berapa.
Tapi tentu saja, masih ada saja orang yang bersikeras mengajukan aplikasi tidak lengkap. Tidak jarang saya lihat petugas berusaha keras menjelaskan peraturan kepada orang asing yang tampaknya hanya bisa bahasa Jepang sepatah-patah.
Kalau bicara tentang masa depan, ada satu masalah yang sepertinya makin hari makin memberatkan Jepang. Grafik pertumbuhan penduduk yang tiap tahun semakin berbentuk segitiga, karena jumlah bayi lahir jauh lebih sedikit dari pada jumlah orang tua, membuat masalah tampak jelas: suatu saat Jepang akan kekurangan tenaga kerja produktif. Hal ini terlihat dari makin besarnya dana pensiun yang wajib diambil. Dana yang dikumpulkan dari kaum muda akan dibayarkan kepada orang tua pensiunan oleh pemerintah. Semakin banyak jumlah orang usia lanjut, semakin banyak tanggungan pemerintah, dan semakin besarlah uang yang harus diambil dari mereka yang berusia produktif. Belum lagi kecenderungan kaum muda Jepang saat ini, lebih memilih bekerja part time daripada menjadi pekerja tetap. Menjadi pekerja part time (arubaito) memang lebih flexible karena tidak perlu masuk pagi pulang malam setiap hari seperti pekerja tetap, dan bisa bebas mengatur hari libur karena tidak terikat kesibukan kerja. Tetapi di satu sisi, keadaan ini merugikan pemerintah karena jumlah perhitungan pajak semakin sedikit, dan jumlah dana pensiun yang bisa dikumpulkan juga makin sedikit.
Kekurangan tenaga kerja bukan berarti bisa dimanfaatkan oleh siapa saja. Meskipun iklan lowongan pekerjaan berlimpah di Jepang ini, bukan berarti semua orang bisa diterima bekerja di Jepang. Yang saya maksud disini tentu saja bekerja secara legal, dengan bekal visa kerja yang sah. Untuk sektor pekerjaan 'berat' seperti kerja konstruksi atau pabrik, selain jika dikirim dari Indonesia sebagai pekerja training (kenshusei) atau jika pekerjaan tersebut membutuhkan keahlian spesifik, bidang ini setahu saya tidak memenuhi syarat sebagai pekerjaan yang bisa mendapatkan visa kerja. Begitu juga pekerjaan seperti penjaga toko atau pelayan restoran, pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan pengetahuan khusus, tidak tercantum dalam daftar 'lowongan pekerjaan' untuk orang asing.
Beberapa kali orang menanya saya bagaimana supaya bisa bekerja di Jepang. Saran saya: punyalah keahlian. Meskipun mungkin kualitas pendidikan di Jepang lebih baik dari Indonesia, saya rasa dalam hal praktek lulusan Indonesia punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Menurut saya, kondisi Indonesia yang sulit mendapatkan pekerjaan membuat dunia pendidikan Indonesia lebih mencurahkan ke aplikasi praktek ketimbang berkutat di teori. Lulusan Indonesia dituntut untuk siap langsung turun bekerja, sementara lulusan Jepang masih perlu dicekoki dengan training sebelum benar-benar siap diserahi tugas.
Tetapi merasa punya keahlian bukan berarti mulus bisa bekerja di Jepang. Mencari pekerjaan di Jepang, saya ibaratkan mencari celah untuk masuk kedalam perangkap gulali... ;) Seperti gulali, bekerja di Jepang memang terasa manis. Meskipun harus rela kena potong pajak, asuransi, dana pensiun yang cukup besar, pendapatan yang diterima dari hasil bekerja di Jepang akan terlihat sangat menggiurkan, apalagi kalau dibandingkan dengan rata-rata gaji pegawai di Indonesia. Satu hal yang jangan dilupakan, biaya hidup di Jepang juga sesuai dengan rata-rata pendapatan orang Jepang. Meskipun awalnya terlihat besar, tapi setelah dipotong biaya hidup sehari-hari, akan terlihat besarnya uang yang habis mungkin bisa menghidupi 2 - 3 keluarga di Indonesia. Dan seperti makan gulali punya resiko sakit gigi, setelah bekerja di Jepang beberapa lama, akan terasa susahnya keluar dari lingkungan 'Jepang'. Kemampuan bahasa Jepang hanya berlaku untuk perusahaan yang berhubungan dengan Jepang, lain dengan kemampuan bahasa Inggris yang punya peluang luas. Dunia bisnis Jepang pun sepertinya punya spesifikasi tersendiri, yang berbeda dengan standar internasional.
Kalau anda masih berniat masuk perangkap seperti saya, berikut ini saya tulis beberapa 'celah' yang saya temukan.
- Bicaralah bahasa Jepang. Kalau anda ingin membuat kesan sebagai turis yang baik terhadap orang Jepang, ucapan salam seperti konnichiwa atau arigatou mungkin sudah cukup membuat anda dipuji "Wah, anda jago sekali berbahasa Jepang." Tapi kalau ingin membuat kesan bahwa anda punya sopan santun di mata customer orang Jepang, lebih baik mengucapkan "taihen moshiwakegozaimasen" , ketimbang hanya "gomen nasai", meskipun artinya sama-sama meminta maaf. Kemampuan bahasa Jepang, bisa dibilang sebagai kunci utama untuk bekerja di Jepang. Kecuali jika anda dikirim oleh perusahaan internasional untuk ditempatkan di Jepang dan cukup berkomunikasi dengan bahasa Inggris, sebagian perusahaan Jepang masih memandang orang asing yang tidak bisa bicara bahasa Jepang sebagai dinding penghalang. Bicara bahasa Jepang sehari-hari mungkin bisa dikuasai dalam setahun, tetapi kemampuan menulis dan membaca huruf kanji adalah hambatan besar untuk kita-kita yang terbiasa melihat huruf Romawi.
Kesempatan ini tampaknya sangat dimanfaatkan oleh penduduk negara tetangga, Cina dan Korea. Beberapa tahun belakangan ini sudah tidak asing lagi melihat nama Cina dan Korea di deretan daftar pegawai perusahaan Jepang. Wajah yang sekilas sama dan kemampuan membaca kanji, membuat orang-orang ini lebih 'gampang' diterima sebagai pegawai ketimbang wajah-wajah asing lain yang sepintas saja sudah memunculkan kekhawatiran terutama tentang keterbatasan bahasa.
- Luluslah dari universitas Jepang. Meskipun saya bilang lulusan Indonesia tidak kalah baiknya dengan lulusan Jepang, saya merasa di kalangan bangsa Jepang masih ada rasa kebanggaan yang kuat, yang terkadang cenderung terkesan sombong dan meremehkan bangsa Asia lainnya. Sisa-sisa sejarah ? Mungkin... Secara umum, kalau tidak bisa mendapatkan orang Jepang sebagai pekerja, orang asing yang lulus dari pendidikan Jepang pun menjadi prioritas berikutnya.
- Berusahalah mengerti cara pikir dan budaya Jepang. Masih banyak orang Jepang yang memiliki pola pikir konservatif. Kebanggaan terhadap cara pikir ala Jepang, yang terkadang terlalu berlebihan, kadang-kadang menjadi batu sandungan untuk pekerja asing yang mencoba masuk ke lingkungan bisnis Jepang. Bukan sekali dua kali saya mendengar keluhan klien saya, pegawai anak perusahaan asing, bahwa orang-orang kantor pusatnya di Eropa tidak pernah mengerti kebiasaan bisnis di Jepang. Dan jujur saja, memang banyak hal-hal yang membuat saya bergumam "Dasar Jepang !", yang butuh waktu bagi saya untuk memahaminya.
Sekian dulu celoteh panjang saya. Mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan mbak Endah, mas John, dan anda-anda yang berminat mengejar gulali seperti saya.