An ideal life, seperti apa ?
Membaca tanggapan tentang artikel yang saya tulis sebelum ini, saya jadi teringat obrolan ringan dengan teman seputar 'cita-cita' dan 'ideal life'.Ketika kecil, saya memiliki angan-angan bahwa pada umur saya sekarang ini saya akan hidup bahagia dengan suami tercinta, anak-anak yang manis, tinggal di rumah mungil bertaman kecil, punya mobil pribadi, dengan karir sebagai manager, atau punya perusahaan kecil sendiri.
Betapa manisnya impian itu.
Kenyataannya, saya belum punya anak, rumah, mobil, dan bahkan baru satu bulan mulai bekerja. Tapi toh saya rasa hidup saya tidak kalah manisnya dengan impian jaman dulu itu.
Hidup di negeri orang, beberapa kali saya bertemu dengan orang Indonesia yang bekerja di sini. Mendengar cerita jalan hidup mereka, makin membuat saya mensyukuri apa yang sudah saya dapatkan selama ini.
Teman saya X, bergelar MBA dan sudah memiliki pekerjaan tetap di Jakarta ketika memutuskan meninggalkan posisinya, untuk kembali ke bangku S1 di Jepang ini. Suatu jalan hidup yang membuat saya berdecak, mengingat kondisinya sekarang mungkin akan sangat tidak sebanding dengan keadaannya di Jakarta dulu. Kembali ke status mahasiswa, berusaha hidup dengan uang beasiswa yang sangat pas-pasan, dengan ditambah uang hasil kerja part time, orang lain akan dengan otomatis bertanya "Kenapa ?"
Kenalan saya Y, lulusan universitas swasta terkenal di daerah Grogol Jakarta Barat, suatu saat terpaksa berhenti bekerja dari pabrik penggulungan benang yang terletak di pinggiran Tokyo. Kecelakaan kerja, tapi karena dia tidak memiliki asuransi kerja berhubung statusnya yang tidak sesuai hukum, perusahaan pun dengan semena-mena meminta dia keluar tanpa pesangon. Kondisi yang tidak perlu dialami seorang sarjana yang seharusnya bisa kerja di dalam kantor berAC.
Tante Z, kerja di pabrik kue di luar Tokyo. Pekerjaannya : mengamati hasil kue yang diproduksi mesin, apakah ada bentuk yang cacat, ataukah ada helaian rambut yang nyasar. Sangat sederhana, tapi sangat melelahkan. Kalau bekerja delapan jam sehari, seminggu 6 hari, tante Z bisa menghidupi suami dan anak-anaknya yang tinggal di Jakarta. Meski dengan konsekuensi tidak bisa bertemu mereka selama bertahun-tahun. Jika pulang, tidak akan bisa kembali lagi tanpa merubah nama. Tentu saja, karena pekerjaan buruh pabrik bukan termasuk pekerjaan yang bisa dapat visa kerja.
Dan saya rasa masih banyak cerita lain yang membuat orang bertanya "kenapa, untuk apa ?"
Orang mungkin akan mencibir pada si tante Z, tapi saya rasa si tante adalah pahlawan untuk keluarganya. Kalau di Indonesia dia tidak bisa berbisnis dengan tenang karena kulitnya yang terang dan matanya yang sipit, di sini dia bisa menghidupi banyak orang, meskipun dengan resiko was-was terhadap petugas imigrasi.
Belajar yang rajin supaya pintar. Supaya dapat pekerjaan bagus, dan bisa jadi orang kaya. Kenyataannya, toh tidak seperti itu. Ada orang yang tidak perlu bekerja tapi kaya, tidak pintar tapi dapat pekerjaan dengan gaji besar, rajin bekerja pun belum tentu bisa kaya. Ada yang memang tidak ingin kaya. Ada yang hanya ingin bekerja saja. Ada yang hanya ingin belajar saja.
Begitu pula dengan lulusan luar negeri seperti saya.
Ada yang dianugerahi bakat dan modal sehingga bisa memulai usaha, dan seperti pandangan ideal banyak orang : kembali ke negerimu, ciptakan tenaga kerja, dan bangunlah bangsamu. Tapi ada yang memilih jalan lain, yang mungkin tidak dianggap ideal oleh orang lain. Toh, manis atau tidaknya pilihan itu, bukan orang lain yang menentukan.