Anak Anjing
Selain ingin keliling dunia, dulu saya pernah punya cita-cita jadi wanita karir dan melahirkan sebelum umur 30.Sayangnya, sekarang saya nggak punya karir.
Tapi cita-cita saya yang satunya tercapai. Putra pertama saya lahir sebulan sebelum usia saya kepala 3.
Jadi maafkan saya saudara-saudara, karena saya lebih sayang sama anak saya ketimbang sama blog ini.
Anyway, selain memberi ucapan selamat, komentar lain yang sering saya dengar adalah, "Loh, kok nggak ngelahirin di Jepang saja ?"
I wished to.
Tapi saya tidak dalam posisi bisa memilih, dan saya cukup bersyukur bisa melahirkan dengan didampingi suami dan orang-orang terdekat. Apalagi ternyata mengasuh anak cukup merepotkan, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana "lonely"nya saya kalau harus melahirkan jauh dari keluarga.
Saya pikir-pikir, waktu di Jepang dulu teman saya orang Jepang kebanyakan single. Padahal kebanyakan dari mereka berumur lebih tua dari saya. OK, saya memang tidak bergaul dengan ibu-ibu waktu di Jepang. Teman-teman saya di Jepang ya seputar rekan di tempat kerja atau waktu kuliah.
Tempat saya ambil S2 dulu jarang ada ceweknya. Kalaupun ada, biarpun sudah menikah pun, biasanya masih dilarang sama senseinya untuk punya anak.
Waktu kerja, kenalan cewek saya lebih banyak. Tapi di tempat kerja saya, yang menyandang status "ibu" cuma satu orang. Wakil direktur saya. Anaknya pun sudah SMA.
Selebihnya, kalau nggak masih single, ya sudah menikah tapi belum (mau) punya anak.
Kalau wanita Jepang nggak ingin direpotkan anak karena lebih memilih karir sebenarnya saya bisa maklum. Nggak seperti di Indonesia, di Jepang gaji baby sitter bisa sama dengan gaji tuannya. Mahal. Nggak terjangkau sama mereka yang statusnya 'cuma' pegawai.
Makanya kalau sudah punya anak, kebanyakan ibu-ibu Jepang memilih berhenti kerja. Kalaupun ada yang memutuskan melanjutkan karir, harus rela anaknya dititipkan ke tempat penitipan anak. Itu pun tidak bisa sampai malam. Sore-sore harus sudah dijemput, karena TPA nya mau tutup.
Saya punya rekan kerja, wanita yang umurnya sudah dekat kepala 5. Suatu hari saat acara makan-makan sepulang kantor, dia menunjukkan sehelai foto kepada saya. "Ini loh, anak perempuanku yang berbulu."
Foto seekor anjing. Cantik memang, tapi itu anjing.
Hati-hati saya tanya tentang keinginannya punya anak. Katanya, "Dulu waktu awal-awal menikah memang belum mau punya. Inginnya konsen ke pekerjaan dulu. Tahu-tahu tanpa sadar, umur sudah nggak memungkinkan lagi."
Tidak merasa kesepian gitu ?
"Nggak juga. Suami juga nggak terlalu memaksa. Lagi pula punya anak kan repot. Kami hidup berdua toh sangat enjoy. Bisa jalan-jalan kemana-mana nggak terlalu mikir. Punya waktu banyak untuk diri sendiri. Uang cukup buat kepuasan pribadi. Punya anak itu mahal kan?"
Yup. Saya nggak bisa membantah kalau punya anak itu mahal.
Jangankan di Indonesia yang bayaran sekolahnya bikin sesak napas, di Jepang yang bayaran sekolah negerinya gratis saja, tetap harus sedia uang buku dan uang makan siang. Belum lagi kebutuhan anak lainnya. Mungkin kalau ditotal, jumlah uang yang dikeluarkan untuk merawat anak dari lahir sampai dewasa bisa untuk ongkos jalan-jalan keliling dunia.
Tapi kalau mikir hari tua, enakan punya anak dong ? Ada yang ngurusin.
"Kata siapa ? ", kata rekan saya itu.
"Buktinya rumah jompo di Jepang ini juga banyak yang penuh."
Memang sih, seperti yang sudah pernah saya tulis di blog ini, saya agak "nggumun" dengan sifat cuek orang Jepang terhadap keluarga. Sudah nggak jarang lagi si anak mendaftarkan orang tuanya ke panti jompo, karena takut direpotkan kalau sang bapak atau ibu sudah mulai pikun. Klopnya, sang orang tua juga tidak sedikit yang dengan sukarela mencari info tentang rumah jompo yang mau dimasukinya. Daripada merepotkan anak cucu, alasannya.
Cara berpikir seperti ini membuat saya merasa miris.
Memang banyak panti jompo di Jepang yang punya fasilitas tidak kalah dengan hotel mewah, lengkap dengan spa dan suster cantiknya. Tapi selama masih ada anak, tidakkah anaknya punya kewajiban moral membalas budi orang tuanya ?
Kembali ke soal foto anjing tadi.
Rekan saya itu benar-benar menganggap anjing itu anaknya. Dimandikan tiap hari, diberi pakaian, diajak jalan-jalan tiap pagi agar tidak stres karena ditinggal seharian di rumah selama tuan rumah bekerja.
Asal tahu saja, harga layanan salon anjing itu lebih mahal daripada salon yang biasa saya datangi. Apalagi bajunya. Kalau dikurs, bisa beli baju buat saya selusin di Mangga Dua.
Belum lagi budget makanannya, bisa lebih besar dari UMR di Jakarta.
Jadinya, punya anjing juga mahal dong...
"Iya. Tapi kan umur anjing terbatas. Paling banter juga 15 tahun. Dan kalau sudah bosan, bisa dijual kan ?"
Saya setengah heran, setengah kasihan.
Saya pernah punya anjing di rumah orang tua saya. Tapi saya nggak bisa membayangkan orang tua saya menganggapnya sebagai anak. Mungkin saya yang nggak rela.
Dan kalaupun saya nggak punya anak pun, saya nggak yakin punya nyali untuk mengangkat anak seekor anjing. Mengadopsi anak manusia jadi terdengar lebih mulia.
Saya nggak pernah memprotes jalan pikiran rekan saya itu. It's her life, not mine.
Tapi saya berharap untuk tidak jadi se-"putus asa" dia.
Dan Tuhan memberkati saya dengan kehadiran putra saya. Memang sih, jadinya cita-cita saya untuk keliling dunia agak tertunda. Tapi mudah-mudahan, suatu saat saya bisa bilang begini ke anak saya, "Le, nanti mbokmu ikut keliling dunia ya !"*