Bunuh Diri
Seorang mentri di Jepang bunuh diri karena ketahuan korupsi. Waktu saya di Jepang, berita bunuh diri bisa dibilang bukan berita langka. Ketika saya masih kuliah, suatu pagi sekumpulan rangkaian bunga diletakkan di bawah gedung sebelah lab saya. Dari desas-desus saya dengar kalau ada mahasiswa yang meninggal karena terjun dari puncak gedung. Beritanya sepertinya tidak sampai terdengar oleh media masa, karena dibungkam oleh pihak sekolah.Lalu ketika saya kerja di Tokyo, saya menghabiskan waktu sekitar satu jam di kereta untuk pergi ke kantor. Salah satu jalur yang saya lewati ternyata merupakan salah satu jalur favorit bagi orang yang mau bunuh diri. Jarak antar stasiunnya cukup panjang, sehingga kereta melaju dengan kecepatan tinggi. Jadi kalau ada orang tiba-tiba terjun ke rel, kemungkinan langsung mati karena kereta tidak sempat mengerem akan tinggi. Tiap bulan biasanya ada kejadian yang menyebabkan kereta jadi terlambat. Memang pengumumannya tidak menyebutkan "bunuh diri", tapi diumumkan sebagai "kecelakaan manusia", tapi semua orang sudah maklum, pasti ada yang mencoba jalur singkat ke neraka, entah berhasil atau tidak.
Padahal meskipun cara ini bisa dibilang efektif, cara ini bisa dibilang sangat mahal. Tidak peduli berhasil mati atau tidak, si pencoba bunuh diri atau keluarganya akan ditagih uang ganti kerugian yang menyebabkan kereta terlambat. Kereta merupakan jalur utama transportasi di Tokyo. Jutaan orang menggunakan kereta sebagai satu-satunya alat untuk pergi ke kantor, dan jika kereta terlambat lima menit saja, tiap stasiun akan penuh sesak dengan orang-orang yang tidak terangkut, dan pihak pengelola harus memberikan alternatif untuk menyalurkan orang-orang ini, entah dengan memberi alternatif jalur lain atau lewat perusahaan kereta lainnya, atau menyediakan bis gratis.
Jadi bayangkan kalau si pencoba bunuh diri ternyata tidak berhasil sampai ke neraka, dan hanya luka saja. Sudah masuk rumah sakit, masih harus menanggung tagihan ganti rugi dari pihak kereta. Jumlah ganti ruginya bahkan bisa membuat anggota keluarga yang lain mencoba bunuh diri juga saking jumlahnya mencekek leher...
Sebagai informasi, jalur di Tokyo yang terkenal paling favorit untuk bunuh diri adalah jalur Chuo line, warna orange, yang melintasi tengah Tokyo.
Di internet, kabarnya ada situs bunuh diri bersama. Kalau takut bunuh diri sendirian, bisa ajak-ajak orang lain. Kasus bunuh diri masal ini beberapa kali saya dengar di berita. Tidak hanya orang dewasa, bahkan komunitas anak-anak SD yang mau mengakhiri hidupnya secara gampang pun ada di internet.
The question is, kenapa sih orang Jepang suka banget bunuh diri ??
Memang tidak semuanya suka memilih jalan pintas yang ekstrem seperti itu. Tapi lama tinggal di Tokyo membuat saya sedikit mengerti kekejaman dari kesunyian yang sering dirasakan orang Jepang.
Sunyi ? Loh bukannya Tokyo itu kota metropolitan ?
Yang saya maksud sunyi disini adalah komunikasi antar manusianya. Waktu saya tinggal sendiri di sebuah apartemen di pinggiran Tokyo, tidak jarang saya melewati hari libur tanpa berbicara kepada seorang pun. Meskipun tetangga kiri-kanan hanya dibatasi selembar tembok saja, saya sama sekali tidak kenal dengan mereka. Dan mereka juga tidak pernah berusaha kenal dengan saya. Keperluan keluar rumah hanya untuk berbelanja ke supermarket yang otomatis tidak butuh basa basi menawar. Kalau di Indonesia kita bisa cerewet minta es batunya ditambah kepada abang penjual cendol, di Tokyo beli minuman pun tinggal pencet dan masukkan uang ke vending machine.
Masih untung saya punya keluarga di Indonesia, dan punya teman sesama orang Indonesia yang bisa saya ajak ngobrol saat saya jenuh.
Kenalkan rekan kantor saya, Mariko san. Perempuan, belum menikah meskipun sudah berumur di atas 30 tahun. Dia bisa dibilang sukses dalam pekerjaannya. Proyek-proyek yang ditanganinya tidak hanya dari dalam Jepang, tapi juga jauh di Eropa sana. Tidak jarang saya lihat dia masih berkutat di depan komputernya meskipun semua orang sudah pulang kantor. Dia punya apartemen di daerah elit Tokyo, dan dia tinggal sendiri di sana. Ketika basa-basi saya tanya apa yang dia lakukan di hari libur, jawaban dia adalah sama seperti jawaban rata -rata jomblo-jomblo yang tinggal sendiri di Tokyo. Tidur sampai siang, makan kalau lapar, and doing nothing.
Dia bukannya tidak punya keluarga. Kakak laki-lakinya sudah berkeluarga dan tinggal hanya 30 menit naik kereta dari tempatnya tinggal. Kenyataan bahwa dia jarang ke tempat kakaknya meskipun dia punya keponakan yang lagi lucu-lucunya sedikit membuat saya heran. Bukankah di Indonesia, tinggal dengan saudara merupakan hal yang wajar ? Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh. OKlah, mungkin dia tidak mau mengganggu. Tapi kenapa dia lebih memilih menyendiri ketimbang bersilaturahmi dengan saudara sendiri ?
Orang tua Mariko san tinggal di kota lain Nagoya. Suatu hari, Mariko san mengeluh kepada saya, karena orang tuanya mau datang ke Tokyo untuk urusan bisnis. Repot banget ngurusin ortu, katanya. Duh, saya akan sangat senang kalau orang tua saya bisa datang mengunjungi saya. Tentu dengan senang hati saya antar keliling Tokyo. Orang tua gitu loh... Tapi si Mariko san memang lain. Orang tuanya akhirnya tinggal di hotel tidak jauh dari apartemennya. Dan dia menghembuskan napas sangat lega ketika orang tuanya kembali ke kota mereka.
Tambahannya, si Mariko san ini punya penyakit yang katanya di derita satu di antara tujuh orang Jepang : depresi.Awalnya saya suka heran dengan kondisi rekan saya ini kalau sedang rapat. Rapat pagi, sebelum makan siang, tapi Mariko san yang terkenal work-alkoholic ini suka terkantuk kantuk dan seperti orang teler. Hal ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Bahkan puncaknya, ketika dia tidak masuk kantor berhari-hari tanpa alasan jelas. Karena saat itu, saya bekerja satu proyek dengan dia, saya penasaran dan sedikit khawatir karena kondisinya sering seperti orang linglung.
Barulah ketika rekan kerja yang lain bilang bahwa dia kena penyakit depresi, saya mencoba maklum. Si mbak ini memang perfeksionis. Semua maunya dikerjakan sendiri. Tapi akibatnya, dia merasa bertanggung jawab akan banyak hal, melebihi kemampuan mentalnya sendiri.Katanya memang dia sudah tahu akan penyakitnya ini sejak jaman sekolah, dan tentu saja makin bertambah parah setelah dia bekerja. Penyakit ini kalau diobati secara teratur, dengan kounseling dan obat penenang, sebenarnya tidak membahayakan. Meskipun begitu, dengar-dengar 10% dari penyebab bunuh diri yang ada di Jepang adalah penyakit depresi ini.
Cuma efek sampingnya, obat penenang ini membuat si peminum obat sangat ngantuk. Hal ini menjelaskan kenapa Mariko san sering keliatan setengah ngelindur meskipun rapatnya di pagi hari. Suatu siang di jam makan siang, saya, Mariko san, dan seorang rekan yang lain iseng-iseng jalan-jalan ke taman di sekitar lingkungan kantor kami. Di sekitar daerah itu memang banyak gedung perkantoran yang cukup tinggi. Kantor kami saja tingginya 40 lantai. Saya dan rekan saya membahas sebuah gedung yang paling tinggi di situ, sementara Mariko san hanya mendengarkan dalam diam. Kata rekan saya, "Wah pasti dari lantai paling atas pasti pemandangannya bagus. Mungkin nggak ya keliatan sampai ke laut ?" Saya menimpali, "Wah kalau keliatan, pasti di musim panas keliatan kembang api dari sana. Pasti bagus tuh.""Iya ya, pemandangan malam juga pasti bagus !"
Tiba-tiba, dari mulut Mariko san meluncur kata-kata yang membuat saya merinding. "Gedung setinggi itu tempat yang ideal buat bunuh diri. Terjun dari lantai paling atas pasti langsung mati."
Saya dan rekan saya tidak bisa berkata apa-apa sejenak, lalu cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke topik lain.